TEORI BELAJAR GESTALT

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengembangan Pembelajaran IPA SD
Kelompok 10
Kelas B
Oleh :
1. Selatika Pidiana (130120204011)
2. Nurlaili Andryana (130120204016)
3. Siti Nur Jamilah (130120204017)
4. Siti Esa Devika Sari (130210204081)
5. Helvy Ika Sa’diyah (130210204084)
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A. SEJARAH TEORI GESTALT
Setelah J.B.
Watson, Behaviorisme marak di kalangan psikolog Amerika dan sejak saat itu
kebanyakan teoritis besar, seperti Githrie, Skinner, dan Hull menjadi penganut
behaviorisme. Serangan behavioristik terhadap metode instrospektif dari Wundt
dan Titchener menyebabkan instrospeksionisme ditinggalkan sepenuhnya. Pada saat
yang hampir bersamaan, ketika kaum behavioris menyerang instrospeksi di
Amerika, sekelompok psikolog mulai menyerang penggunaanya di jerman. Kelompok
psikolog di Jerman menamakan dirinya sebagai Psikolog Gestalt. Jika gerakan
behavioristik dianggap pertama kali diluncurkan lewat artikel watson berjudul
“Psycology as The Behaviorist Views It”, yang muncul pada 1913, maka gerakan
gestalt dianggap pertama kali diluncurkan oleh artikel Max Wertheimer tantang
gerakan, yang muncul pada 1912
Meskipun Max Wertheimer (1880-1943) dianggap
sebagai pendiri psikologi Gestalt, sejak awal dia sudah bekerja sama dengan dua
orang yang dianggap juga sebagai bapak pendiri, yakni Wolfgang Kohler
(1887-1967) dan Kurt Koffka (1886-1941). Kohler dan Koffka berpartisipasi dalam
eksperimen yang pertama yang dilakukan oleh Wertheimer. Meskipun ketiganya
memiliki kontribusi sendiri-sendiri yang penting psikologi, ide-ide mereka
selalu mirip satu sama lain.
Tampaknya
seluruh gerakan Gestalt muncul dari pemikiran Wertheimer ketika dia sedang naik
kereta api menuju ke Rhineland. Dia mendapat gagasan bahwa jika dua cahaya
berkedip-kedip (hidup dan mari) pada tingkat tertentu, cahaya itu akan memberi
kesan bagi pengamatnya bahwa satu cahaya itu bergerak maju dan mundur. Setelah
turun dari kereta dia membeli stroboscope
(alat yang digunakan untuk menyajikan stimuli visual pada tingkat tertentu)
yang dengannya dia melakukan banyak eksperimen sederhana di kamar
hotelnya. Dia memperdalam gagasannya
yang muncul yang saat di kereta, yakni bahwa jika mata melihat stimuli dengan
cara tertentu, penglihatan itu akan memberikan ilusi gerakan yang oleh
Wertheimer dinamakan phi phenomenon. Penemuannya
ini sangat berpengaruh terhadap sejarah psikologi.
Arti
dari phi phenomenon adalah fenomena
ini berbeda dari elemen yang menyebabkannya. Sensasi gerakan tidak dapat
dijelaskan dengan menganalisis setiap unsur kedipan cahaya, yakni cahaya padam
dan cahaya hidup, perasaan akan adanya gerakan akan muncul dari kombinasi kedua
elemen itu. Karena alasan ini, anggota aliran Gestalt percaya bahwa walaupun
pengalaman psikologi berasal dari elemen sensoris (indrawi), namun pengalaman
itu berbeda dengan elemen sensoris itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman
fenomenologis (yakni gerakan yang kelihatan) berasal dari pengalaman sensoris
(yakni cahaya) tetapi tidak dapat dipahami dengan menganalisis
komponen-komponen pengalaman fenomenal ini. Artinya Pengalaman fenomenologis adalah berbeda dari bagian-bagian yang
menyusun pengalaman tersebut.
Jadi, Gestalt yang
mengikuti tradisi Kantian, percaya bahwa organisme menambahkan sesuatu pada
pengalaman, sesuatu itu adalah tindakan menata (organisasi) data. Gestalt adalah kata jerman yang berarti
pola atau konfigurasi. Anggota aliran ini berpendapat bahwa kita mengalami
dunia secara menyeluruh dan bermakna. Kita tidak melihat stimuli yang
terpisah-pisah namun stimuli itu dikelompokkan bersama (diorganisasikan) ke
dalam satu konfigurasi yang bermakna, atau Gestalten
(bentuk jamak dari Gestalt) kita melihat orang, kursi, mobil, pohon dan
bunga. Kita tidak melihat deretan dan kontur dan serpihan warna. Medan persepsi
kita adalah komposisi keseluruhan yang tertata atau Gestalten, dan ini seharusnya dijadikan objek penelitian psikologi.
Pandangan Gestaltis adalah “keseluruhan
itu berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya” atau”membagi-bagi berarti
mendistorsi.” Anda tidak mendapat kesan penuh dari lukisan Mona Lisa dengan melihat gambar tangan kirinya dahulu, lalu gambar
tangan kanannya, lalu hidungnya, mulutnya, dan kemudian berusaha menyatukan
pengalaman melihat ini. Anda tidak dapat memahami pengalaman mendengar orkestra
simfoni dengan menganalisis kontribusi masing-masing musisi secara
terpisah-pisah. Musik yang berasal dari orkestra adalah berbeda dengan jumlah musik
yang dimainkan oleh setiap musisi yang terlibat. Melodi memiliki kualitas
sendiri, yang berbeda dengan kualitas suara yang dihasilkan oleh berbagai alat
musik yang menjadi unsur melodi tersebut.
B. BIOGRAFI TOKOH PENDIRI GESTALT
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, tokoh pendiri Teori Gestalt terdapat 3 orang yaitu
Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Berikut ini akan disajikan
biografi masing-masing tokoh tersebut.
1.
Max
Wertheimer (1880-1943)

Max Wertheimer dilahirkan di Prague pada tanggal 15 April
1880 dan wafat pada tanggal 12 Oktober 1943 di New York. Max Wertheimer dianggap
sebagai pendiri psikologi Gestalt bersama-sama dengan Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka.
Max Wertheimer yang meneliti persepsi yang terintregasi dalam gerak
2.
Wolfgang
Kohler (1887-1967)

Kohler
lahir di Reval, Estonia pada 21 Januari 1887. Di pulau Tenerife yang berlokasi di
pulau Canary ia mempelajari perilaku kera dan ayam. Hasil investigasinya kemudian
diterbitkan dalam sebuah bukunya yang penting, The Mentality of Apes (1924), yang
memuat tentang eksperimentasinya mengenai kera dan ayam untuk mengetes berbagai
masalah yang berkaitan dengan belajar. Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight
pada simpanse
3.
Kurt Koffka (1886-1941)

Kurt
Koffka lahir di Berlin pada
18 Maret 1886. Ia studi
di Berlin juga dan mencapai
Ph.D dalam bidang
psikologi tahun 1909.
Tahun 1925 dia mempublikasikan
Principles of Gestalt Psycology, sistem utama
di dalam psikologi Gestalt.
Dia adalah
orang pertama yang menulis
artikel dalam bahasa
inggris mengenai Psikologi
Gestalt. Artikelnya: Perception: An Introduction to Gestalt
Theories. Dipublikasikan di Psychological
Buletin tahun1922. Ia meninggal
tahun 1941.
C. HUKUM-HUKUM DALAM TEORI GESTALT
Beradasarkan
hasil penelitiannya Max Wertheimer merekomendasikan lima hukum yang saling
terkait yaitu: Hukum pragnanz, Hukum kesamaan (Law of Similiarity), Hukum
keterdekatan (Law of Proximity), Hukum kontinyuasi (Law of Continuation), Hukum
ketertutupan (Law of Closure).
1. Hukum Pragnanz
Pengamatan
terhadap suatu obyek dikaitkan dengan sesuatu yang berarti dilihat dari
susunan, bentuk, ukuran, warna, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, buah yang
berwarna merah dianggap sudah masak dan manis rasanya, sedangkan buah yang
berwarna hijau dianggap mentah dan masam rasanya.
2. Hukum kesamaan (Law of Similiarity)
Orang
cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan kesamaannya bukan perbedaannya.
Sebagai contoh, orang akan mengelompokkan tumbuh-tumbuhan berdasarkan jenis
akarnya, akar tunggang atau akar serabut.
3. Hukum keterdekatan (Law of Proximity)
Ketika
diterapkan pada persepsi menunjuk pada bagaimana item-item cenderung untuk
mengelompok sesuai dengan ruang sela mereka, dimana item-item yang lebih rapat
akan mengelompok dan menyatu. Sebagai contoh, jika kita menggambar beberapa
buah garis sejajar di atas selembar kertas, dengaan ruang sela yang lebar dan
sempit berselang-seling diantaranya, maka pasangan garis dengan ruang sela yang
sempit diantaranya akan terlihat sebagai sebuah kelompok yang terdiri atas dua
garis. Kelompok-kelompok inilah yang terlihat menyatu alih-alih pasangan dengan
ruang sela yang lebar diantaranya, kerena kerapatan mereka yang lebih sempit.
Hukum ini juga berlaku pada penyelaan dalam hal waktu. Bunyi yang terjadi
hampir bersamaan cenderung untuk terdengar sebagai satuan. Kode Morse
Internasional memanfaatkan prinsip ini dengan menggunakan jeda-jeda diam dengan
panjang yang berbeda-beda untuk memisahkan huruf dan kat-kata, sehingga
kelompok-kelompok bunyi ini menjadi satuan-satuan tersendiri. Ketika diterapkan
pada pembelajaran, hukum kerapatan dapat mengacu lagi pada kerapatan dalam hal
ruang atau waktu. Dalam hal ruang, hukum tersebut bisa menjelaskan mengapa kera
lebih mudah menemukan cara meraih pisang dengan sebatang tongkat jika tongkat
dan pisangnya berada di sisi yang sama pada kandang tersebut. Dalam hal waktu,
hukum itu bisa menerangkan mengapa kita lebih mudah mengingat kejadian-kejadian
yang lebih terkini, yang lebih rapat dengan waktu sekarang sehingga mudah
disatukan dengan urusan kita yang sekarang dalam gestalt yang sama.
4. Hukum Kontinyuasi (Law of Continuation)
Obyek dilihat
sebagai totalitas atau keseluruhan bukan bagian per bagian. Implikasi dari
hukum ini adalah cara pandang bahwa:
a.
Dalam belajar, siswa tidak menangkap
bagian-bagian dari gejala tetapi menangkapnya secara keseluruhan karena
keseluruhan lebih penting dari pada bagian-bagiannya. Sebagai contoh, ketika
seseorang melihat sebuah rumah, ia melihatnya secara keseluruhan bukan
bagian-bagiannya.
b.
Anak yang belajar merupakan keseluruhan dalam
arti bahwa pembelajaran yang dilakukan terhadap anak bukan hanya mengembangkan
intelektualnya saja, tetapi mengembangkan keseluruhan kepribadian anak
seutuhnya (whole child education).
5. Hukum ketertutupan (Law of Closure)
Menyatakan
bahwa area yang menutup lebih siap membentuk satuan. Diterapkan pada persepsi,
fakta ini bisa dilihat dengan mengacu pada contoh garis-garis sejajar
sebelumnya. Kita bisa mengubah pengelompokan sebelumnya dan membuat pasangan
garis yang terpisah lebih besar menjadi mengelompok. Perubahan ini bisa
dihasilkan dengan menghubungkan ujung dari garis-garis ini sehingga membentuk
dua sisi dari sebuah kotak. Garis penghubung ini tidak harus utuh; sepanjang
pasangan garis yang terpisah lebar nampak sebagai bagian dari sebuah figur yang
menutup ruang, pasangan itu cenderung untuk menyatu. Diterapkan pada
pembelajaran, hukum penutupan memainkan peran dalam teori pembelajaran kognitif
sama halnya seperti peran yang dimainkan oleh penguatan dalam teori
pembelajaran koneksionis.
Ketika
seorang individu bergulat dengan sebuah masalah, persepsinya mengenai situasi
tidak komplet. Suatu imbalan akan menyatukan bagian-bagian yang terpisah dari
situasi itu menjadi figur perseptual yang menutup atau selesai, terdiri atas
masalah, tujuan, dan saran untuk mencapai tujuan (Koffka 1925). Di sini titik
tekannyya bukan pada perolehan imbalan melaikan pada perampungan suatu
aktivitas dan membuat beberapa bagian menjadi berhubungan. Kerena itulah penjelasan
ini paling tepat bila diterapkan pada manusia dewasa yang dengan sadar bekerja
ke arah tujuan tertentu. Istilah ‘closure’ memang telah digunakan secara
informal oleh banyak psikolog non-gestalt untuk mengacu pada munculnya perasaan
komplet ketika sebuah tugas diselesaikan atau suatu misteri terpecahkan. Sungguhpun
demikian, hubungan antara penutupan dalam pengertian ini dan penutupan dalam
figur geometris bisa jadi agak dipaksakan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
Koffka menemukan hukum penutupan dalam persepsi dan menerapkannya pada studi
tentang pembelajaran, atau apakah ia menggunakan nama yang sama untuk
menjelaskan dua prinsip yang sedikit berbeda, satu mengenai persepsi dan yang
lain mengenai pembelajaran.
Menarik
untuk dicatat bahwa terlepas dari semua perbedaan antara interpretasi
pembelajaran Guthrie dan interpretasi para psikolog Gestalt, ada kemiripan
tertentu antara hukum pengkondisian primer Guthrie dan hukum penutupan para
psikolog Gestalt. Kedua pihak sama-sama berpandangan bahwa imbalan menghasilkan
efek karena mengubah situasi subyek. Bagi Guthrie, imbalan mengubah situasi
sehingga respon terakhir yang dilakukan tetap terkondisi dengan stimuli situasi
tersebut. Bagi para teoritisi gestalt,imbalan mengubah persepsi individu mengenai
situasi tersebut sehingga stimuli, respon, dan imbalan membentuk suatu gestalt.
Dalam pandangan seorang teoritisi penguatan, ciri seperti ini bisa digunakan
sebagai pembenar bahwa teori Guthrie dan teori Gestalt sama-sama tergolong
teori kontinguitas (yang berlawanan dengan teori
penguatan).
Interpretasi gestalt mengenai lupa
(forgetting), seperti interpretasinya mengenai pembelajaran, mengacu pada
perubahan-perubahan perseptual. Jejak memori cenderug untuk berubah secara
spontan seiring berjalannya waktu menjadi ‘gestalt yang lebih baik’. Konsep
Gestalt yang lebih baik merupakan pola tatanan yang cenderung terjadi pada
suatu sistem, entah sistem itu berupa gelembung sabun atau persepsi. Artinya,
sebuah gelembung sabun cenderung untuk mengambil bentuk sebuah bulatan; jika
dipaksa menjadi bentuk lain tanpa menjadi pecah, gelembung itu akan cenderung
menjadi bulatan lagi begitu paksaan itu dihilangkan. Begitu juga, persepsi
cenderung utuk mengambil bentuk tertentu sejauh dimungkinkan oleh
kondisi-kondisi stimulasi. Gestalt yang baik cenderung bersifat sederhana dan
teratur. Dalam gestalt fisik, seringkali dimungkinkan untuk menerangkan
karakteristik gestalt yang baik dengan cara seksama menggunakan persamaan
metematika (contohnya, rumus untuk sebuah bola bisa diterapkan pada gelembung
sabun). Bila kita memasuki wilayah
persepsi, pengalaman terdahulu akan memainkan peran dalam menentukan seperti
apa gestalt yang baik itu. Bentuk-bentuk yang familiar dan penting cenderung
untuk menjadi gestalt yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak familiar
dan tidak penting. Sekalipun demikian, faktor-faktor bawaan tetap berperan besar dalam menentukan
apa yang akan mebentuk gestalt perseptual yang baik. Bila kita membahas topik
pembelajaran, kita akan menemukan fakta bahwa pengalaman selalu memegang
peranan yang lebih penting, meskipun kriteria perseptual bawaan juga tetap
berlaku.
D. PRINSIP BELAJAR GESTALT
Karya paling
signifikan tentang belajar oleh anggota aliran Gestalt adalah karya Kohler
antara 1913 dan 1917 di University of Berlin Anthropoid Station di Tenerife,
salah satu kepulauan Canary. Kohler (1925) meringkas temuannya dalam The Mentality of Apes. Saat di Tenerife
dia juga mempelajari kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki ayam, meskipun
karya ini jarang disebut.
Karena
psikolog Gestalt terutama adalah teoretisi medan yang tertarik pada fenomena
perseptual, tidak mengejutkan jika mereka mamandang belajar sebagai problem
khusus dalam persepsi .mereka mengasumsikan bahwa ketika suatu organisme
berhadapan dengan sebuah problem, akan muncul keadaan disekuilibrium kognitif
dan keadaan ini akan terus berlanjut sampai problem terselesaikan. Karenanya,
menurut Psikologi Gestalt, disekuilibrium kognitif mengandung unsur
motivasional yang menyebabkan organisme berusaha untuk mendapatkan kembali
keseimbangan dalam sistem mentalnya. Menurut hukum pragnanz, keseimbangan
kognitif lebih memuaskan ketimbang ketidakseimbangan kognitif. Pada poin ini
gestaltis lebih dekat dengan pendapat Guthrie dan Hull. Dapat dikatakan bahwa
problem akan memunculkan stimuli (atau
menurut istilah Hull, dorongan), yang terus ada sampai problem terpecahkan, dan
setelah terpecahkan stimuli itu akan berhenti (dorongan berkurang). Bukti atas
pendapat ini diberikan oleh karya Bluma Zeigarnik, yang menemukan bahwa tugas
yang belum selesai akan selalu diingat lebih lama dan lebih detail ketimbang
tugas yang telah selesai. Dia menjelaskan fenomena ini dalam term properti
motivasional dari suatu problem yang terus ada sampai problem itu dipecahkan. Tendensi
untuk mengingat tugas yang belum selesai dengan lebih baik ketimbang tugas yang
sudah selesai dinamakan Zeigarnik effect
(efek zeigarnik).
Belajar
menurut Gestalt adalah fenomena kognitif. Organisme “mulai melihat” solusi
setelah memikirkan problem. Pembelajaran memikirkan semua unsur yang dibutuhkan
untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama (secara kognitif) dalam
satu cara dan kemudian ke cara-cara lainnya sampai problem terpecahakan. Ketika
solusi muncul, organisme mendapatkan wawasan (Insight)
tentang solusi problem. Problem dapat eksis hanya dalam dua
keadaan yaitu: terpecahkan atau tidak terpecahkan. Tidak ada keadaan solusi
parsial diantara dua keadaan itu. Thorndike percaya bahwa belajar adalah
bersifat kontinu, karena ia bertambah secara bertahap sedikit demi sedikit
sebagai fungsi dari percobaan penguatan. Gestaltis percaya bahwa solusi itu
didapatkan atau tidak sama sekali, belajar menurut mereka adalah bersifat
diskontinu.
Untuk menguji
gagasan tentang belajar ini Kohler menggunakan sejumlah eksperimen kreatif.
Satu percobaan adalah problem memecahkan jalan memutar dimana hewan
dapat melihat tujuannya dengan jelas tetapi tidak bisa mencapainya secara
langsung. Hewan itu harus berjalan memutar dan mengambil jalur lain untuk mendapatkan
objek yang diinginkannya. Dengan tipe problem ini, kohler menemukan bahwa ayam
amat kesulitan dalam mendapatkan solusi, tetapi monyet dapat memecahkannya
dengan relatif mudah.
Percobaan
kedua yang dipakai Kohler mengharuskan organisme menggunakan alat untuk
menjangkau objek yang diinginkannya. Misalnya, sebuah pisang diletakkan diluar
jangkauan si monyet sehingga si monyet itu harus menggunakan tongkat untuk
menggapainya atau menggunakan tongkat agar cukup panjang untuk menjangkaunya.
Dalam masing-masing kasus, hewan itu punya semua unsur yang dibutuhkan untuk
memecahkan problem, ini adalah soal menyatukannya dengan cara yang tepat.

Gambar diatas menunjukkan
bagaimana monyet bernama Chica menggunakan satu tongkat untuk menjangkau buah.

Gambar diatas
menunjukkan monyet bernama Grande yang menggunakan tumpukan peti untuk
menjangkau pisang.

Gambar diatas
menunjukkan Grande menggunakan struktur yang lebih kompleks.

Gambar di atas
menunjukkan bagaimana Chica menggunakan peti dan tongkat untuk mendapatkan
buah.

Gambar di atas
menunjukkan monyet bernama Sultan, monyet paling cerdas, menggunakan dua
tongkat untuk menjangkau buah.
·
Periode
Prasolusi
Biasanya
dibutuhkan waktu agak lebih lama sebelum solusi yang berwawasan (Insightful solution) dapat ditemukan.
Penjelasan psikolog Gestalt dalam hal ini mirip dengan konsep belajar trial-and-error, namun mereka menyebut
belajar trial-and-error ini sebagai
kognitif, bukan behavioral. Menurut mereka organisme menguji sejumlah
“hipotesis” tentang acara paling efektif untuk memecahkan problem. Hewan memikirkan solusi yang berbeda sampai
salah satu solusi itu bisa sukses dan kemudian dia akan bertindak secara
behavioral berdasarkan solusi yang berhasil tersebut. Ketika cara yang benar
berhasil ditemukan maka akan muncul wawasan atau pengetahuan mendalam. Tentu
saja, agar belajar mendalam ini dapat terjadi, organisme tersebut harus
dihadapkan pada semua elemen problem, jika tidak maka perilakunya tampak tidak
terarah. Menurut Gestaltis, ini adalah problem dalam riset Thorndike. Thorndike
menemukan bahwa belajar tampak bersifat inkremental sebab elemen-elemen penting
dalam problem itu tersembunyi dari hewan. Pembaca dapat merasakan pengalaman
“Aha” yang biasanya mengiringi proses belajar mendalam dengan mencoba mencari
beruang yang tersembunyi di sebuah gambar.
Biasanya
seseorang akan melihat sebagian besar gambar itu sebelum bentuk yang
tersembunyi itu dapat ditemukan. Problem ini menimbulkan disekuilibrium yang
akan terus bertahan sampai problem terselesaikan. Dalam kasus ini menemukan
gambar beruang akan memulihkan kembali keseimbangan kognitif, meredakan
ketegangan dan akan membuat orang berteriak lega seperti “aha”.
·
Wawasan Dalam Pendidikan
Kontribusi Wertheimer yang
paling menonjol bagi perkembangan psikologi Gestalt adalah dalam aplikasi
bidang pendidikan. Ia memberikan perhatian pada pembelajaran berwawasan di
kalangan anak-anak sekolah. Apabila kohler meneliti wawasan pada kera untuk
tujuan teoritis, Wetheimer memiliki minat yang amat praktis pada anak-anak sekolah.ia memandang
bahwa para guru terlalu menekankan hafalan atau ingatan buta dengan
mengorbankan pemahaman. Untuk itu ia mengarahkan studi-studinya guna
menghasilkan cara tertentu agar pembelajaran disertai wawasan yang lebih besar
di pihak siswa.
Dalam bukunya Produktif Thinking, Wertheimer (1945)
membedakan dua tipe pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah tipe Aterdapat
originalitas dan wawasan; dalam pemecahan tipe B yang ada adalah
ketentuan-ketentuan lama yang diterapkan secra tidak tepat, dan dengan demi kian tidak menjadi pemecahan. Perbedaan ini
bukan berarti bahwa pemecahan masalah B bergantung pada pengalaman sebelumnya
dan pemecahan A tidak. Keduanya bergantung pada pengalaman sebelumnya;
perbedaan ada pada susunan orisinal yang mncirikan pemecahan A.
Wertheimer
mendapati bahwqa geometri merupakan bidang yang amat berguna untuk mengkaji
pendekatan yang berbeda terhadap masalah. Salah satu masalah yang ia berikan
kepada orang dewasa dan anak-anak mengharuskan subjek untuk mencari jajaran
genjang. Awalnya Wertheimer menjelaskan pada subjek cara mencari luas persegi
panjang; ia tidak hanya menyatakan rumus tidak hanya menyatakan rumus panjang
kali lebar, namun juga menjelaskan alasan diperolehnya rumus tersebut. Ia
melakukannya dengan membagi persegi panjang itundengan menjadi bujur
sangkar-bujur sangka kecil dan menunjukan bahwa luas persegi panjang adalah
bujur sangkar yang ada pada satu kolom dikalikan dengan jumlah kolomnya. Ia
kemudian memperlihatkan sebuah jajaran genjang yang terbuat dari kertas dan menyuruh
subjek untuk mencari luasnya. Sebagian orang menjawab bahwa ini merupakan soal
baru dan mereka menganggap tidak bisa menyelesaikan soal tersebut tanpa diberi
tahu caranya. Sebagian langsung mengulang rumus perkalian satu sisi dikalikan
sisi yang lain yang sekarang terbuktintidak berlaku; ini adalah ‘pecahan tipe
B’. Yang lainnya berusaha untuk menemukan pemecahan yang orisinal namun tetap
tidak bisa menemukan. Hubungan kedua persolalan itu. Akan tetapi beberapa
diantaranya sampai pada pemecahan A yang orisinal. Salah satu anak mengamati
bahwa yang membuat soal itu sulit adalah dua pojok tepi jajaran genjang yang
mencuat, ia meminta gunting, memotong salah satu tepi dan menyatukannya
dengantepi lainnya sehingga jajaran genjang tersebut sekarang menjadi persegi
panjang.Subjek yang lainnya pada hasil yang sama dengan membengkokkan jajaran
genjang itu menjadi sebuah cincin sehingga kedua ujungnya menyatu, dan kemudian
memotong cincin itu secara melintang sehingga menjadi sebuah persegi panjang.
Kedua individu ini menunjukkan pemahaman orisinal atas situasi tersebut yang
memungkinkan pemecahan yang orisinal dan benar.
Jika
individu ini menerapakan ketentuan ‘panjang kali lebar’, yang ada pada persegi
panjang untuk menghitung jajaran genjang, perhitungan yang diperoleh tentu
benar, namun demikian tetap menunjukkan tidak ada pemahaman. Hal ini lebih
mirip dengan penyelesaian B, walaupun secara kebetulan juga benar. Namun
demikian, yang mereka lakukan adalah mencari cara orisinal dengan mengubah soal
baru ini menjadi soal yang familiar bagi mereka, soal yang mereka ketahui cara
penyelesaiannya. Penyelesaian akhirnya amat bergantung pada pengalaman
sebelumnya itu diorganisir dengan cara baru. Hal penting dalam penyelesaian
tersebut adalah adanya wawasan yang dengannya situasi soal baru itu
diretrukturisasi. Dari sudut pandang para pemecah itu, jajaran genjang dirubah
menjadi Gestalt yang lebih baik, menjadi persegi panjang.
Ketika
suatu penyelesaian terbukti benar, penting dibedakan apakah disana terkandung
pemahaman yang nyata atau tidak. Pemahaman tidak sama dengan logika. Baik
metode-metode logika induktif dan deduktif bisa diterapkan secara membuta.
Metode induktif, dimana seseorang menalar contoh-contoh partikular menuju
kesimpulan umum, sebenarnya hanya merupakan upaya yang coba-coba. Seseorang
lainnya mungkin mencoba berbagai rumus untuk menemukan luas jajaran genjang, ia
mendapati bahwa panjang kali lebar menghasilkan jawaban sama seperti yang ada
di buku untuk sejumlah kasus, dan menyimpulkan bahwa rumus inilah yang benar
namun tanpa mengetahui sebabnya. Meskipun memadahi untuk tujua-tujuan praktis,
cara ini adalah penyelesaina tanpa pemahaman. Wertheimer gemar memberikan
contoh kasus dimana induksi seperti itu mengarah pada kesimpulan yang ternyata
keliru. Metode deduktif, dimana seseorang menalar secara logis dari satu
prinsip ke hal lainnya, juga bisa diterapkan secara membuta. Seorang siswa
biasanya menggunakan aljabar dengan teliti sampai ia bisa membuktikan benarnay
suatu persamaan, namun mungkin ia tetap tidak memahami persamaan itu dalam
pengertia seperti yang dimaksudkan oleh Wertheimer. Pemahaman bukan hanya
melibatkan kebenaran logika melainkan juga persepsi mengenai persoalan sebagai
keseluruhan yang utuh, mengenai cara menggunakan sarana untuk mengarah
ketujuan. Dalam proses pembuktian aljabar misalnya, disetiap langkah nya siswa
perlu bertanya bukan hanya,’bagaimana secara logis ini diperoleh dari langkah
sebelumnya?’ melainkan juga Bagaimana ini mengarah pada pemecahan?’ dalam
pendapat Wertheimer, seharusnya pendidikan menjadikan pemahaman atau persepsi
mengenai gestalt-gestalt utuh seperti itu sebagai tujuan pokoknya.
Penyelesaian soal secara
kreatif bukan hanya penting untuk situasi-situasi ‘inteltual murni’ seperti
tersebut di atas. Wertheimer mengilustrasikan pentingnya hal itu dalam
situasi-situasi sosial melalui sebuah anekdot mengenai dua orang anak yang
tengah bermain badminton. Anak yang lebih besar bermain lebih baik dibanding anak yang lebih kecil dan selalu
menang. Sehingga anak kecil pun menolak melanjutkan permainan. Karena suasana
gembira menjadi buyar, bagi anak yang lebih besar hal ini menjadi sebuah
persoalan. Bagaimana caranya agar ia bisa mengajak anak kecil itu untuk terus
bermain badminton? Bisa saja menyuruh agar anak kecil itu bersikap sportif
(kemungkinan tidak berhasil) atau bisa saja ia bermain dengan cara mengalah
(pendekatan ini lebih baik namun tidak menjadi jawaban bagi persoalan awalnya).
Kemudian anak yang besar menyadari bahwa akar persoalannya adalah pada kompetisi,
karena itu ia menawarkan penyelesaian yang konstruktif. Permainan kompetitif
berupa pertandingan meraih angka sekarang diganti menjadi permainan kooperatif
dimana mereka berusaha bekerja sama menjaga bolanya agar tetap melayang
sehingga keduanya bisa menikmati permainan itu lagi. Sekali lagi, terhadap
situasi akan menuntun pada pemecahan yang berwawasan.
Bila dibandingkan dengan karya Guthrie Psychology of
Learning, buku Wertheimer menunjukkan perbedaan antara perspektif kognitif dan
koneksionis mengenai pembelajaran dalam bentuk-bentuknya yang ekstrim. Kedua
buku tersebut memperlihatkan perhatian yang kuat pada psikologi pembelajaran
terapan, khususnya dikalangan anak-anak. Guthrie menekankan bagaimana mendidik
anak agar melakukan respon yang tepat terhadap stimuli yang tepat.
Pertanyaannya selalu berupa ‘apa yang dilakukan oleh anak?’ sebaliknaya,
Wertheimer menekankan bagaimana mendidik anak agar memiliki wawasan mengenai
materi yang ada. Pertanyaannya adalah ‘apa yang dipahami oleh anak?’ ini bukan
berarti bahwa perbedaan keduanya tidak bisa
dipertemukan karena Wertheimer pun membahas kemampuan pemecahan masalah
secara efektif dan Guthrie pun berbicara tentang pemahaman menurut stimuli yang
dihasilakan oleh gerakan. Tetapi penekanan diantara keduanya amat berbeda.
Penekanan terhadap pemahaman, persepsi mengenai hubungan yang ada dalam
keseluruhan yang terorganisir, adalah sumbangan besar psikolog Gestalt bagi
interpensi pembelajaran.
Insightful learning (belajar berwawasan) biasanya dianggap memiliki empat
karakteristi: (1) transisi dari prasolusi ke solusi terjadi secara mendadak dan
komplet; (2) kinerja berdasarkan solusi diperoleh dengan pengertian mendalam
yang biasanya bebas dari kekelirua; (3) solusi untuk suatu problem yang
diperoleh melalui wawasan mendalam ini akan diingat dalam waktu yang cukup
lama; (4) prinsip yang diperoleh melalui wawasan yang mendalam ini mudah
diaplikasikan ke problem lainnya. Kita melihat contoh dari karakteristik
terakhir ini dalam diskusi kita tentang transposisi.
·
Transposisi
Ketika satu
prinsip pemecahan masalah dalam satu situasi diaplikasikan ke problem lain,
proses ini dinamakan Transposition (transposisi). Karya
awal Kohler mengenai transposisi dilakukan dengan ayam dan monyet.
Eksperimennya adalah dengan melatih hewan untuk mendekati satu dari dua sisi
kertas abu-abu; misalnya ayam diberi makan di bagian bayangan yang gelap dari
kertas itu tetapi tidak diberi makan di bagian yang lebih terang. Setelah training, ketika ayam itu diberi
pilihan, ayam tersebut akan memilih mendekati bagian yang gelap. Jika
eksperimen dua daerah bayangan tersebut diakhiri pada point ini, behavioris
akan senang sebab demikianlah seharusnya hewan akan berperilaku menurut sudut
pandang mereka, tetapi bagian kedua dari eksperimen inilah yang dianggap
gestaltis lebih mencerahkan.
Setelah training awal, hewan itu diberi pilihan
antara kertas gelap seperti yang dipakai saat latihan, dan kertas yang lebih
gelap lagi. Bagaimana hewan tersebut merespon situasi baru ini?
Jawabannya
tergantung pada bagaimana orang melihat proses belajar. Gestaltian berpendapat
bahwa behavioris akan memprediksi bahwa hewan itu akan mendekati kertas yang
lebih terang disituasi baru ini karena kertas itulah yang sudah diperkuat pada
fase pertama percobaan. Tetapi Gestaltis tidak memandang belajar sebagai
pengembangan kebiasaan spesifik atau koneksi S-R. Menurut mereka apa yang
dipelajari dalam situasi ini adalah prinsip relasional; yakni mereka menganggap
hewan mempelajari prinsip mendekati objek
paling gelap dari dua buah objek dalam fase pertama eksperimen dan prinsip
yang sama akan diaplikasikan pada fase percobaan kedua. Gestaltis memprediksi
bahwa hewan itu akan memilih objek yang lebih gelap dari kedua objek di fase 2,
meskipun mereka telah dikuatkan untuk memilih objek yang satunya lagi pada fase
1. Secara umum prediksi yang dibuat psikolog Gestalt dalam situasi ini adalah
akurat.
Dari percobaan
yang telah dilakukan Kohler tersebut, kera mampu mengembangkan insight, artinya ia dapat menangkap
hubungan antara kotak, tongkat dan pisang. Ia paham bahwa pisang adalah
makanan, ia paham juga bahwa tongkat dapat digunakan untuk meraih pisang yang
berada di gantung diatas kandang. Inilah hakikat belajar. Belajar terjadi
karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungn antara komponen yang ada di
lingkungannya.
Insight yang merupakan inti dari belajar
menurut teori Gestalt, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Kemampuan insight seseorang tergantung kemampuan
dasar orang tersebut; sedangkan kemampuan dasar itu tergantung kepada usia atau
posisi yang bersangkutan dalam kelompok (spesies)-nya.
b)
Insight dipengaruhi atau tergantungkepada
pengalaman masa lalunya yang relevan.
c)
Insight tergantung pada pengaturan dan penyediaan
lingkungannya. Simpanse tidak mungkin dpat meraih pisang yang ada di luar
jerujinya apabila tidak disediakan tongkat.
d)
Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui
pengertian individu akan dapat memecahkan persoalan. Pengertian itulah yang
dapat menjadi kendaraan dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
e)
Apabila insight telah diperoleh, maka dapat
digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Di sini terdapat
semacam transfer belajar, akan tetapi yang ditransfer bukanlah materi yang
dipelajari namun relasi-relasi dn generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Secara garis
besar prinsip belajar menurut teori gestalt adalah sebagai berikut:
1.
Belajar berdasarkan keseluruhan
Berbeda dengan teori-teori belajar behavioristik yang
menganggap bagian-bagian lebih penting dari keseluruhan, teori Gestalt
menganggap bahwa justru keseluruhan itu lebih memiliki makna dari
bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan.
Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Demikian juga
kalimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian karangan.
Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu
bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dai suatu
masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.
Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan
pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Mata pelajaran yang bulat lebih mudah
dimengerti dari pada bagian-bagiannya.
2.
Belajar adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak baru dapat mempelajarai dan merencanakan
bila ia teleh matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu
organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan
oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan karena lingkungan dan
pengalaman.
3.
Siswa sebagai organisme keseluruhan
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan
anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektualnya saja, akan tetapi
mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual
manakala tidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan
seluruh potensi yang ada dalam diri anak. oleh karenanya mengajar itu bukanlah
menumpuk memori anak degan fakta-fakta yang lepas-lepas. Akan tetapi,
mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.
Siswa belajar tak hanya inteleknya saja, tetapi juga
emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran modernguru di samping mengajar,
juga mendidik untuk membentuk pribadi siswa.
4.
Terjadi transfer
Belajar pada pokoknya yang terpenting pada penyesuaian
petama ialah memperoleh respon yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu
terutama adalah masalah pengamata, bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai
betul-betul maka dapat dipindahkan untuk kemampuan yang lain.
5.
Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti
dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan
reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menerus
disempurnakan. Apabila seorang anak kena api, aka kejadian itu akan memberikan
pengalaman setelah ia mengolah, menghubungkan dan menafsirkannya, bahwa api
merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat
menyimpulkan dan menentukan sikap bahwa api harus dihindari. Akan tetapi,
kemudian anak akan mereorganisasi pengalamannya, bahwa api itu juga ternyata
besar juga manfaatnya dan tidak selalu berbahaya. Inilah hakikat pengalaman.
Dengan demikian, proses membelajarkan adalah proses memberikan
pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
6.
Belajar harus dengan insight
Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman
terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan
demikian, maka belajr itu kan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan
yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang
dihadapi itu anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi
setiap problema.
Insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana
seseorang melihat pengertian tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan
tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.
7.
Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan
minat, keinginana dan tujuan siswa
Hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa
yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Disekolah progresif, siswa
diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan
yakin akan manfaatnya.
8.
Belajar berlangsung terus menerus
Siswa memperoleh pengetahuan tak hanya di sekolah tetapi
juga di luar sekolah, dalam pergaulan, memperoleh pengalaman sendiri-sendiri,
karena itu sekolah harus bekerjasama dengan orang tua di rumah dan masyarakat,
agar semua turut serta membantu perkembangan siswa secara harmonis.
E. JEJAK MEMORI
Koffka
mengasumsikan bahwa pengalaman saat ini akan membangkitkan apa yang disebutnya
sebagai memory procces ( proses memori ). Proses ini adalah aktifitas
di otak yang disebabkan oleh pengalaman lingkungan. Ketika prosesnya berhenti,
jejak dari efeknya tertinggal di otak. Jejak ini pada gilirannya akan
mempengaruhi semua proses serupa yang terjadi di masa depan. Menurut kofka,
jika seorang mendefinisikan belajar sebagai modifikasi potensi perilaku yang
berasal dari pengalaman, maka setiap pemunculan proses ini dapat dilihat
sebagai pengalaman belajar.
Koffka (1963 [1935]), Suatu jejak akan
mempengaruhi proses dengan cara menjadikan proses itu sama dengan proses yang
diproduksi oleh jejak tersebut. Semakin kuat jejak memori, semakin kuat
pengaruhnya pada proses itu. Karena itu, pengalaman sadar seseorang akan
cenderung lebih sesuai dengan jejak memori ketimbang proses.
Menurut pendapat ini, jika hal
terakhir yang dilakukan dalam situasi pemecahan masalah adalah memecahkan
masalah itu, maka solusi itu akan melekat dalam pikiran seseorang. Saat
seseorang di waktu yang lain berada
dalam situasi pemecahan masalah yang sama, akan muncul sebuah proses yang akan
berkomunikasi dengan jejak dari pengalaman pemecahan masalah sebelumnya. Jejak
ini kemudian akan mempengaruhi proses yang sedang berlangsung dan memudahkan
upaya pemecahan masalah. Dengan repitisi, jejak ini menjadi semakin berpengaruh
terhadap proses tersebut.
Pada poin ini, kita melihat
kesesuaian teori gestalt dengan guthire, misalnya, tampak bahwa kofka menerima
prinsip kebaruan (recency), yang
menyatakan bahwa apa yang dilakukan terakhir kali oleh seseorang dalam satu
situasi nanti akan dilakukan lagi jika situasi itu berulang. Gestaltis pada
dasarnya sepakat dengan penjelasan guthire tentang bagaimana repitisi
meningkatkan keahlian.
·
Jejak
Individual versus Sistem Jarak
Setiap
keterampilan atau keahlian yang kompleksdapat dilihat dari banyak proses dan
jejak, namun indvidual memory trace (jejak memori individual) terkait
dengan ketrampilan yang sama. Berbagai jejak-jejak individual yang saling
terkait dinamakan trace system (sistem jejak). Koffka (1963 [1935])mengasumsikan
bahwa melalui repitisi sistem jejak menjadi lebih penting ketimbang jejak
individual yang menyusunnya. Kualitas “keseluruhan” dari ketrampilan akan
mendominasi jejak individual, dan karenanya menyebabkannya kehilangan
individualitasnya. Fenomena ini mungkin kelihatan paradoks yakni repitisi dapat
membantu belajar meskipun ia cenderung menghancurkan jejak pengalaman
individual:
Konsolidasi jejak individual tunggal hilang
tetapi tidak kita perhatikan karena pelenyapannya diiringi dengan menguatnya
stabilitas sistem jejak. Ketika kita belajar mengetik, pekajaran individual
akan segera terlupakan, dan gerakan yang kikuk akan hilang. Ini berarti jejak
dari pelajaran pertama menjadi berubah oleh adanya agregat jejak yang
diproduksi olh banyak repitisi yang akan meningkatkan keterampilan. Demikian
pula, ketika kita berada di suatu runagan dalam waktu yang cukup lama, kita
akan mendapat banyak kesan ruangan itu dengan mengelilingi ruangan. Tetapi,
hanya sedikit dari kesan itu yang dapat diingat.
Sebagaimana jejak individual amat
mempengaruhi proses di masa depan saat jejak itu menetap, demikian pula sistem
jejak akan memengaruhi proses terkait jika ia menjadi menetap. Pendapat ini
menimbulkan implikasi yang menarik. Misalnya, diasumsikan bahwa selama
bertahun-tahun kita mengembangkan sistem jejak yang berhubungan dengan
pengalaman yang sama. Jadi, kita mengembangkan sistem jejak berkaitan dengan
kursi, anjing, pohon, pria, wanita, atau pensil. Sistem-sistem jejak ini akan
berupa semacam penjumlahan neurologis dari semua pngalaman kita dengan objek
dalam kelas tertentu. Karena sistem jejak makin kuat, sistem itu akan
berpengaruh besar terhadap setiap pengalaman individual yang kita punya. Teori
ini juga menjelaskan fenomena pengakhiran/penutupan(closure).
Memori,
seperti presepsi, mengikuti hukum pragnanz. Memori cenderung komplet dan
bermakna, bahkan ketika pengalaman awalnya tidak. Pengalaman yang tak teratur
cenderung diingat sebagai reguler. Sekali lagi penekanannya adalah pada pola,
gestalt, keseluruhan dari pengalaman, dan pengingatan kembali pengalaman. Teori
ini berbeda dengan teori memori asosiasi yang diterima oleh behavioris.
Asosiasionis menerima “hipotesis bundel”, yang meyataka bahwa pemikiran yang
kompleks terdiri dari ide-ide sederhana yang disatukan (dibundel) melalui
kontiguitas, kemiripan atau kontras. Memori muncul ketika satu elemen dalam
bundel itu menimbulkan ingatan tentang elemen lain. Gestaltis menolak teori
asosiasionis dan lebih mendukung hukum pragnanz dalam menjelaskan semua aspek
dari pengalaman manusia, termasuk persepsi, belajar, dan memori.
Behaviorisme
tidak bicara apapun tentang persepsi, dan teori gestalt awalnya tidak bicara
apa pun, atau hanya sedikiti bicara tentang belajar. Tetapi, ketika banyak
tokoh gestaltis pindah ke amerika utara untuk menghindari nazi jerman, mereka
mulai membahas problem belajar sebab problem itu menjadi perhatian utama bagi
psikolog Amerika saat itu. Teori gestalt jelas lebih mampu untuk menjelaskan
problem presepsi sebagian karena behavioris mengabaikan topik yang berusaha
mngembangkan teori perseptual mereka untuk membahas soal belajar, dan disisi
lain ada kelompok behavioris yang mengabaikan belajar persepsi. Seperti biasa,
dengan menerima paradigma sebagai ideologi telah membutakan gestaltis dan
behavioris terhadap aspek penting dari proses belajar. Untungnya, beberapa
pemikir yang belakang telah berusaha menggunakan unsur terbaik dari kedua
paradigma itu.
Debat
sehat antara psikolog gestalt dan behavioris memunculkan modifikasi dari
masing-masing sudut pandang guna menanggapi kritik dari satu sama lain. Kedua
posisi ini cukup ekstrem, dan keduanya berpengaruh besar terhadap pikologi.
Berkat para psikolog gestalt studi proses kognitif tak lagi dianggap tabu. Akan
tetapi, proses kognitif belakangan dipelajari dalam kondisi laboratorium yang
ketat dengan mengambil tema seperti studi pengambilan resiko, pemecahan masalah
dan studi pembentukan konsep. Berkat behavioris kita punya definisi operasionel
konsep itu yang didasarkan pada aspek behavioral.
F.
PENDAPAT
PSIKOLOGI GESTALT MENGENAI PENDIDIKAN
Seperti yang telah kita ketahui,
gestaltis berpendapat bahwa problem yang tak sesuai akan menimbulkan ambiguitas
atau ketidakseimbangan organisasional dalam pikiran siswa, dan ini adalah
kondisi yang tidak diinginkan. Ambiguitas dilihat sebagai keadaan negatif yang
akan terus ada sampai problem terselesaikan. Siswa yang berhadapan dengan
problem akan berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama
sampai mereka mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Dalam satu
pngertian, pengurangan ambiguitas dapat dilihat sebagai teori gestalt yang
sejajar dengan gagasan penguatan dari kaum behavioris. Akan tetapi, reduksi
ambiguitas dapat dianggap sebagai penguat intrinsik, sedangkan behavioris
biasanya lebih mnekankan pada penguat eksternal atau ekstrinsik.
Jerome Brunner (1966), saat
mendiskusikan motif manusia, memiliki pendapat yang mirip dengan gestaltis
tentang reduksi ambiguitas. Bruner mengatakan,
Rasa ingin tahu hampir merupakan prototipe
dari motif intrinsik. Perhatian kita terarah pada sesuatu yang tidak jelas,
belum tuntas, atau tidak pasti. Kita mempertahankan perhatian kita sampai persoalan
menjadi jelas, selesai, atau pasti. Pencapaian kejelasan itulah yang akan
memuaskan kita. Kitaakan berpikir bahwa akan lebih baik jika seseorang akan
memberi kita memberi pujian, atau jika mendapat keuntungan karena telah
berhasil memuaskan rasa ingin thau kita.
John Holt
(1967) memberikan pernyataan senada dalam bukunya, how childern learn:
Kita ingin mengetahui sesuatu karena suatu
alasan. Alasannya adalah ada lubang, clah , ruang kosong dalam pemahaman kita
tentang sesuatu, model mental kita tentang dunia. Kita merasakan celah itu
seperti lubang di gigidan ingin menambalnya. Ini menyebabkan kita bertanya
bagaimana? Kapan ? mengapa? Saat celah itu masih ada, kita berada dalam
ketegangan.dengarkan suara cemas seseorang saat ia berkata, “ini tidak masuk
akal!” ketika celah dalam pemahaman kita telah terisi, kita merasa senang,
puas, lega. Segala sesuatu menjadi masuk akal lagi atau setidaknya menjadi
lebih masuk akal ketimbang sebelumnya. Ketika kita belajar dengan cara ini,
karena alasan ini, kita berarti belajar secara cepat dan permanen. Orang yang
benar-benar ingin tahu sesuatu tidak mesti harus dikasih tahu berkali-kali,
diuji atau dikuliahi. Sekali sudah cukup. Pengetahuan baru itu akan mengisi
celah yang sesuai dengannhya, seperti memasang kepingan-kepingan dalam
permainan jigsaw.setelah ada disana, pengetahuan akan dipertahankan, ia tidak
bisa lepas lagi.
Bruner dan Holt menganut gagasan
gestaltian bahwa belajar adalah memuaskan secara personal dan tidak perlu
didorong-dorong oleh penguatan eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan
dicirikan oleh hubungan memberi dan menerima antara murid dengan guru. Guru kan
membantu siswa memandang hubungan dan mengorganisasikan pengalaman mereka ke
dalam pola yang bermakna. Belajar berdasarkan pendapat gestalt bisa dimulai
dengan sesuatu yang familiar dan setiap langkah dalam pendidikan didasarkan
pada hal-hal yang sudah dikuasai. Semua aspek pelajaran dibagi menjadi
unit-unit yang bermakna, dan unit-unit itu harus berkaitan dengan seluruh
konsep atau pengalaman. Guru yang berorientasi gestalt mungkin menggunakan
teknik ceramah (lecture), tetapi ia
akan berusaha agar selalu ada interksi antar guru dan murid. Memoriasi fakta
tanpa pemahaman akan dihindari. Setalah siswa memahami prinsip di balik pengalaman
belajar barulah mereka bisa memahaminya dengan sesungguhnya. Ketika hal-hal
yang dipelajari telah dipahami, bukan hanya diingat, maka ia dapat dengan mudah
diaplikasikan ke situasi yang baru dan dipertahankan dalam jangka waktu yang
lama.
DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R., dkk.2009.Theories
of Learning (Teori Belajar).Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hill, Winfred.F .2012.Theories of
Learning.Bandung: Nusa Media
Slameto. 1995.Belajar Dan Faktor
yang Mempengaruhinya.Jakarta: PT Rineka Cipta
Gintings, Abdorrakhman.2008.Esensi
Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
0 komentar:
Posting Komentar