Pages

Labels

Selasa, 31 Mei 2016

10 peta wisata Banyuwangi

10 Peta Wisata Banyuwangi




Tempat wisata banyuwangi Lengkap Wajib Dikunjungi merupakan salah satu bagian dari Wisata Jawa Timur yang cukup unggul. Banyuwangi merupakan Pemerintahan Kabupaten bagian dari Propinsi Jawa Timur. Lokasinya di ujung timur propinsi Jatim dan berdekatan dengan wisata Bali. Dari pusat  kabupaten Jawa Timur dengan kendaraan darat butuh waktu sekitar 8 jam. Namun di Banyuwangi saat ini sudah ada bandara atau airport yang sudah buka sekitar tahun 2010 namanya Blimbing sari, sesuai dengan nama lokasi berada.

Asal usul kota banyuwangi

CERITA ASAL USUL KOTA BANYUWANGI



Pada zaman dahulu kala ada Subuah kerajaan yang diperintah oleh Raja, Raja tersebut mempunyai seorang putra bernama "Raden Banterang". Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pada suatu hari Raden Banterang pergi berburu di hutan disertai bersama – sama dengan abdinya. Ketika di tengah hutan Raden Banterang sedang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya, segera mengejar kijang itu hingga masuk hingga masuk ke hutan. Sehingga Ia terpisah dengan para pengiringnya.


Rabu, 25 Mei 2016

Manfaat daun sirsak

Manfaat Daun Sirsak dan Cara Mengolahnya


        Manfaat daun sirsak untuk kesehatan sudah tidak perlu diragukan lagi, beberapa khasiat daun sirsak yakni untuk mengobati diabetes, asam urat, rematik, bisul, dan masih banyak lagi. Sirsak sendiri merupakan tumbuhan yang berasal dari Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Di Indonesia sirsak mempunyai banyak sebutan salah satunya yakni nangka sebrang. Buahnya sendiri mempunyai rasa yang enak dan mempunyai berbagai kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita.
         

Selasa, 24 Mei 2016

Manfaat buah naga untuk kesehatan

Manfaat Buah Naga untuk Kesehatan



Berikut akan saya jelaskan mengenai manfaat buah naga bagi kesehatan tubuh manusia.
  1. Menurunkan Kolesterol                                                                                                          Manfaat buah naga yang pertama adalah sebagai penurun kolesterol. Buah naga merupakan buah yang kaya akan kandungan vitamin B3. Kandungan vitamin B3 di dalam buah naga mampu membuat kolesterol jahat dalam tubuh menjadi turun. Selain itu, kandungan vitamin B3 juga mampu membuat tekanan darah tetap dalam keadaan normal.

Tugas Perspetif global

TO:_01 _PG KELAS  B
NAMA                                     : SELATIKA PIDIANA
NIM/NO. DAFTAR HADIR : 130210204011/10
PROGRAM STUDI               : FKIP PGSD
KELAS                                    : B



JAWABAN TUGAS

1.        Calon guru SD perlu mempelajari perspektif global, sebab dengan mempelajari Perspektif Global seorang guru dapat mempersiapkan masa depan siswa dengan memberikan ketrampilan analisis dan evaluasi yang luas. Ketrampilan ini akan membekali siswa untuk memahami dan memberikan reaksi terhadap isu internasional dan antara budaya. Dimana kita tahu bahwa usia anak SD adalah usia yang sangat tepat untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri siswa tersebut. Jika sejak SD sudah dibekali dengan pendidikan yang dapat menunjang kemampuan berfikir logisnya seperti memahami tentang isu-isu global, maka siswa tersebut akan mampu  beradaptasi dengan arus globalisasi yang sangat pesat ini. Siswa tersebut juga akan mampu memilih dan memilah pengaruh globalisasi mana yang baik untuk dirinya. Pendidikan global juga mengenalkan siswa dengan berbagai strategi untuk berperan serta secara lokal, nasional dan internasional. Selain itu, mempelajari Perspektif Global dalam pengelolaan pendidikan ialah sebagai langkah upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Berdasarkan uraian tersebut sudah sangat jelas sekali bahwa calon guru SD sangat penting untuk mempelajari Perspektif Global.

2.         a.  Pandangan saya tentang akselerasi pendidikan adalah saya setuju dengan adanya program tersebut, karena pada jaman yang serba cepat seperti saat ini manusia dituntut untuk melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Akselerasi adalah kelas percepatan pembelajaran yang disajikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa dengan materi-materi atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu lebih pendek mereka dapat menyelesaikan pendidikannya. Belajar akselerasi adalah belajar yang dilakukan dengan waktu yang lebih pendek tanpa mengurangi materi yang seharusnya dipelajari. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama jika kita tinggal di negara maju. Dengan adanya program kelas akselerasi diharapkan negara kita ini yaitu Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya dalam mencetak anak didik yang bisa membawa harum nama bangsa dengan segudang prestasinya. Program akselerasi ini dapat melahirkan anak bangsa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dengan usia yang masih muda. Jika Usia masuk SD 6 th, Lalu belajar di SD selama 4 th, SMP 2 th, SMA 2 th, S1 3 th, S2 2 th, dan S3 2 th, maka seseorang yang masih berusia 21 th sudah bisa menyandang gelas S3. Bayangkan saja jika seluruh anak bangsa bisa melakukan hal seperti ini, bukankah nantinya bangsa kita yang akan mendapatkan keuntungan terbesar dari program akselerasi tersebut yaitu bangsa kita mampu mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual tinggi sehingga dimata dunia bangsa kita tidak jauh tertinggal dalam bidang pendidikan dengan negara-negara maju.
b.      Kelebihan Program Kelas Akselerasi
·      Siswa yang memiliki bakat intelektual atau tingkat kecerdasan yang tinggi dapat dibantu secara khusus melalui kelas akselerasi ini sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran yang lebih kompleks sesuai bakat dan kemampuan yang dimilikinya.
·      Karena berada dalam satu kelas dengan siswa lain yang kemampuan intelektualnya sebanding, sehingga lebih memberikan tantangan kepada setiap siswa kelas akselerasi ini untuk selalu menjadi yang terbaik sehingga mampu mendorong semangat belajar setiap siswa tersebut.
·      Mengurangi beban orangtua untuk biaya pendidikan karena waktu tempuh pendidikan yang dapat dipersingkat.
·      Waktu untuk meniti karir lebih banyak


       Kekurangan Program kelas Akselerasi
·      Ketika ada di kelas askselerasi, siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya. Mereka tidak bisa menikmati masa tumbuh kembangnya dengan baik seperti yang dirasakan teman-teman lainnya yang tidak ikut dalam program akselerasi.
·      Beban tugas yang terlalu banyak bisa menjadi tekanan bagi kesehatan mental siswa. Hal ini akan menyebabkan siswa tersebut mudah marah dan frustasi sehingga hubungan sosial baik dengan teman sebaya maupun orang lain menjadi tidak baik.

3.        Pandangan saya tentang penggantian peran guru dalam mendidik anak dengan komputer adalah kurang setuju. Peran guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya mengajarkan materi-materi ajar saja yang mungkin bisa diwakilkan dengan menggunakan media komputer. Namun untuk pembelajaran moral, cara ini kurang efektif. Seorang siswa disamping mendapatkan pembelajaran materi juga harus mendapatkan pembelajaran moral untuk membentuk karakter baik pada diri siswa tersebut. Apabila peran guru digantikan oleh suatu tekhnologi canggih seperti komputer bagaimana bisa guru tersebut memberikan pendidikan moral pada peserta didiknya. Pendidikan moral akan lebih efektif apabila guru tersebut melakukan pendekatan intens pada setiap siswanya. Sehingga peran guru disini akan lebih maksimal apabila guru tersebut terjun langsung dalam kegiatan pembelajaran. Dalam sistem pembelajaran, komunikasi langsung antara guru dan siswa sangat penting untuk terciptanya hubungan yang baik antara guru dan siswa tersebut sehingga guru bisa mendalami dan mengetahui karakter dari masing-masing siswanya. Jika guru tersebut dapat mengetahui karakter dari masing-masing siswanya maka akan sangat mudah untuk guru tersebut dalam membimbing dan mengarahkan siswanya ke arah yang baik dan benar. Dengan begitu akan berakibat terbentuknya anak bangsa yang selain memiliki tingkat kemampuan intelektual tinggi juga memiliki kualitas moral yang baik. Berdasarkan uraian diatas sudah sangat jelas bahwa peran guru sebagai tenaga pendidik tidak sepenuhnya bisa digantikan oleh tekhnologi canggih.

4.        Profil guru ideal yang dapat menjawab tantangan kebutuhan dalam era global.
Guru adalah pelaku perubahan. Gagasan ini menjadikan guru harus peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan, pembaharuan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejalan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya. Disinilah tugas guru semestinya harus senantiasa mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan, meningkatkan kualitas pendidikannya hingga apa yang diberikan kepada peserta didiknya tidak lagi terkesan ketinggalan zaman. Bahkan tidak sesederhana itu saja, ciri guru ideal di era globalisasi seperti saat ini perlu tampil sebagai pendidik, pengajar, pelatih, inovator dan dinamisator secara sekaligus dan integral dalam mencerdaskan anak didiknya. Sosok guru merupakan hal paling utama bagi keberhasilan suatu sistem pendidikan. Di tengah kemajuan zaman dan tantangan yang semakin pesat, idealnya guru harus terus belajar, kreatif mengembangkan diri dan terus menyesuaikan pengetahuan dan cara mengajarnya dengan penemuan-penemuan kontemporer. Salah satu indikator utama unggul tidaknya sebuah sekolah adalah ditentukan dari faktor mutu guru. Guru dituntut memiliki profesionalisme di bidangnya. Artinya guru tidak hanya harus memiliki pengertahuan yang luas tentang bidang yang diajarnya, namun seluruh komponen yang berkaitan dengan pendidikan harus ada pada diri para guru itu sendiri. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada karakter seorang pendidik. Oleh sebab itu, semakin banyak guru yang berkualitas di suatu sekolah, tentu akan semakin berkualitas pulalah sekolah tersebut. Guru diharapkan dapat membekali peserta didiknya sebagai penerus bangsa ini. Tentunnya dengan melahirkan individu-individu yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual saja, namun juga mampu menghargai kebenaran, keadilan, kesejahteraan, perdamainan dan sikap penuh tanggungjawab guna memasuki era masa depan yang sangat kompetitif dan tiada batas.

5.        Keterkaitan antara kondisi riil/kondisi obyektif berbagai faktor pada suatu negara dengan mutu pendidikan dapat dijelaskan sbb:
a.      Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor idiologi.
Idiologi bangsa indonesia adalah pancasila, pancasila merupakan pedoman bagi bangsa indonesia dengan 5 silanya sehingga apabila dalam suatu pendidikan berpegang pada idiologi tersebut maka pendidikan akan mengalami keberhasilan dalam mencetak anak didik yang kompeten dan sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan bangsa Indonesia.
b.      Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya sangat berperan penting dalam keberhasilan pendidikan. Apabila budaya yang ada merupakan budaya yang baik yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, maka sangat memungkinkan terjadinya keberhasilan pendidikan di Indonesia dalam mencetak generasi muda penerus bangsa yang berkualitas.
c.       Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor ekonomi.
Perekonomian yang baik mereupakan salah satu faktor penting dalam suatu keberhasilan pendidikan. Apabila perekonomian baik maka tidak ada lagi anak putus sekolah karena kekurangan biaya, sehingga apabila perekonomian baik seluruh anak di Indonesia akan mengenyam pendidikan. 
d.      Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor politik.
Apabila politik di Indonesia bersih, dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pasti akan berdampak pula pada keberhasilan mutu pendidikan di Indonesia.
e.   Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor pertahanan dan keamanan.
Faktor keamanan juga sangat penting dalam mencapai keberhasilan pendidikan dimana faktor keamanan yang baik lah yang dapat menjaga anak didik dari suatu tindak kejahatan yang bisa saja dilakukan oleh orang-orang disekitar anak tersebut.
f.       Keberhasilan pendidikan suatu negara amat bergantung pada faktor kesehatan.
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam keberhasilan pendidikan dimana apabila kesehatan terjaga maka dalam menempuh pendidikan akan sangat maksimal. Sehingga dapat terbentuklah suatu keberhasilan pendidikan yaitu terciptanya anak didik yang kompeten dan diharapkan mampu menjadi generasi penerus bangsa yang dapat dibanggakan

Pembelajaran IPA SD "TEORI BELAJAR GESTALT"

TEORI BELAJAR GESTALT


Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengembangan Pembelajaran IPA SD



Kelompok 10
Kelas B

Oleh :

1.      Selatika Pidiana                      (130120204011)
2.      Nurlaili Andryana                   (130120204016)
3.      Siti Nur Jamilah                      (130120204017)
4.      Siti Esa Devika Sari                (130210204081)
5.      Helvy Ika Sa’diyah                 (130210204084)





PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A.      SEJARAH TEORI GESTALT
Setelah J.B. Watson, Behaviorisme marak di kalangan psikolog Amerika dan sejak saat itu kebanyakan teoritis besar, seperti Githrie, Skinner, dan Hull menjadi penganut behaviorisme. Serangan behavioristik terhadap metode instrospektif dari Wundt dan Titchener menyebabkan instrospeksionisme ditinggalkan sepenuhnya. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika kaum behavioris menyerang instrospeksi di Amerika, sekelompok psikolog mulai menyerang penggunaanya di jerman. Kelompok psikolog di Jerman menamakan dirinya sebagai Psikolog Gestalt. Jika gerakan behavioristik dianggap pertama kali diluncurkan lewat artikel watson berjudul “Psycology as The Behaviorist Views It”, yang muncul pada 1913, maka gerakan gestalt dianggap pertama kali diluncurkan oleh artikel Max Wertheimer tantang gerakan, yang muncul pada 1912
             Meskipun Max Wertheimer (1880-1943) dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt, sejak awal dia sudah bekerja sama dengan dua orang yang dianggap juga sebagai bapak pendiri, yakni Wolfgang Kohler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1886-1941). Kohler dan Koffka berpartisipasi dalam eksperimen yang pertama yang dilakukan oleh Wertheimer. Meskipun ketiganya memiliki kontribusi sendiri-sendiri yang penting psikologi, ide-ide mereka selalu  mirip satu sama lain.
            Tampaknya seluruh gerakan Gestalt muncul dari pemikiran Wertheimer ketika dia sedang naik kereta api menuju ke Rhineland. Dia mendapat gagasan bahwa jika dua cahaya berkedip-kedip (hidup dan mari) pada tingkat tertentu, cahaya itu akan memberi kesan bagi pengamatnya bahwa satu cahaya itu bergerak maju dan mundur. Setelah turun dari kereta dia membeli stroboscope (alat yang digunakan untuk menyajikan stimuli visual pada tingkat tertentu) yang dengannya dia melakukan banyak eksperimen sederhana di kamar hotelnya.  Dia memperdalam gagasannya yang muncul yang saat di kereta, yakni bahwa jika mata melihat stimuli dengan cara tertentu, penglihatan itu akan memberikan ilusi gerakan yang oleh Wertheimer dinamakan phi phenomenon. Penemuannya ini sangat berpengaruh terhadap sejarah psikologi.
            Arti dari phi phenomenon adalah fenomena ini berbeda dari elemen yang menyebabkannya. Sensasi gerakan tidak dapat dijelaskan dengan menganalisis setiap unsur kedipan cahaya, yakni cahaya padam dan cahaya hidup, perasaan akan adanya gerakan akan muncul dari kombinasi kedua elemen itu. Karena alasan ini, anggota aliran Gestalt percaya bahwa walaupun pengalaman psikologi berasal dari elemen sensoris (indrawi), namun pengalaman itu berbeda dengan elemen sensoris itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman fenomenologis (yakni gerakan yang kelihatan) berasal dari pengalaman sensoris (yakni cahaya) tetapi tidak dapat dipahami dengan menganalisis komponen-komponen pengalaman fenomenal ini. Artinya Pengalaman fenomenologis adalah berbeda dari bagian-bagian yang menyusun pengalaman tersebut.
            Jadi, Gestalt yang mengikuti tradisi Kantian, percaya bahwa organisme menambahkan sesuatu pada pengalaman, sesuatu itu adalah tindakan menata (organisasi) data. Gestalt adalah kata jerman yang berarti pola atau konfigurasi. Anggota aliran ini berpendapat bahwa kita mengalami dunia secara menyeluruh dan bermakna. Kita tidak melihat stimuli yang terpisah-pisah namun stimuli itu dikelompokkan bersama (diorganisasikan) ke dalam satu konfigurasi yang bermakna, atau Gestalten (bentuk jamak dari Gestalt) kita melihat orang, kursi, mobil, pohon dan bunga. Kita tidak melihat deretan dan kontur dan serpihan warna. Medan persepsi kita adalah komposisi keseluruhan yang tertata atau Gestalten, dan ini seharusnya dijadikan objek penelitian psikologi.
Pandangan Gestaltis adalah “keseluruhan itu berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya” atau”membagi-bagi berarti mendistorsi.” Anda tidak mendapat kesan penuh dari lukisan Mona Lisa dengan melihat gambar tangan kirinya dahulu, lalu gambar tangan kanannya, lalu hidungnya, mulutnya, dan kemudian berusaha menyatukan pengalaman melihat ini. Anda tidak dapat memahami pengalaman mendengar orkestra simfoni dengan menganalisis kontribusi masing-masing musisi secara terpisah-pisah. Musik yang berasal dari orkestra adalah berbeda dengan jumlah musik yang dimainkan oleh setiap musisi yang terlibat. Melodi memiliki kualitas sendiri, yang berbeda dengan kualitas suara yang dihasilkan oleh berbagai alat musik yang menjadi unsur melodi tersebut.

B.       BIOGRAFI TOKOH PENDIRI GESTALT
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tokoh pendiri Teori Gestalt terdapat 3 orang yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Berikut ini akan disajikan biografi masing-masing tokoh tersebut.
1.    Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer dilahirkan di Prague pada tanggal 15 April 1880 dan wafat pada tanggal 12 Oktober 1943 di New York. Max Wertheimer dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt bersama-sama dengan Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Max Wertheimer yang meneliti persepsi yang terintregasi dalam gerak
2.    Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval, Estonia pada 21 Januari 1887. Di pulau Tenerife yang berlokasi di pulau Canary ia mempelajari perilaku kera dan ayam. Hasil investigasinya kemudian diterbitkan dalam sebuah bukunya yang penting, The Mentality of Apes (1924), yang memuat tentang eksperimentasinya mengenai kera dan ayam untuk mengetes berbagai masalah yang berkaitan dengan belajar. Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse

3.     Kurt Koffka (1886-1941)
Kurt Koffka lahir di Berlin pada 18 Maret 1886. Ia studi di Berlin juga dan mencapai Ph.D dalam bidang psikologi tahun 1909. Tahun 1925 dia mempublikasikan Principles of Gestalt Psycology, sistem utama di dalam psikologi Gestalt.  Dia adalah orang  pertama yang menulis artikel dalam bahasa inggris mengenai Psikologi Gestalt. Artikelnya: Perception: An Introduction to Gestalt Theories. Dipublikasikan di Psychological Buletin tahun1922. Ia meninggal tahun 1941.

C.      HUKUM-HUKUM DALAM TEORI GESTALT
Beradasarkan hasil penelitiannya Max Wertheimer merekomendasikan lima hukum yang saling terkait yaitu: Hukum pragnanz, Hukum kesamaan (Law of Similiarity), Hukum keterdekatan (Law of Proximity), Hukum kontinyuasi (Law of Continuation), Hukum ketertutupan (Law of Closure).
1.    Hukum Pragnanz
Pengamatan terhadap suatu obyek dikaitkan dengan sesuatu yang berarti dilihat dari susunan, bentuk, ukuran, warna, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, buah yang berwarna merah dianggap sudah masak dan manis rasanya, sedangkan buah yang berwarna hijau dianggap mentah dan masam rasanya.
2.    Hukum kesamaan (Law of Similiarity)
Orang cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan kesamaannya bukan perbedaannya. Sebagai contoh, orang akan mengelompokkan tumbuh-tumbuhan berdasarkan jenis akarnya, akar tunggang atau akar serabut.
3.    Hukum keterdekatan (Law of Proximity)
Ketika diterapkan pada persepsi menunjuk pada bagaimana item-item cenderung untuk mengelompok sesuai dengan ruang sela mereka, dimana item-item yang lebih rapat akan mengelompok dan menyatu. Sebagai contoh, jika kita menggambar beberapa buah garis sejajar di atas selembar kertas, dengaan ruang sela yang lebar dan sempit berselang-seling diantaranya, maka pasangan garis dengan ruang sela yang sempit diantaranya akan terlihat sebagai sebuah kelompok yang terdiri atas dua garis. Kelompok-kelompok inilah yang terlihat menyatu alih-alih pasangan dengan ruang sela yang lebar diantaranya, kerena kerapatan mereka yang lebih sempit. Hukum ini juga berlaku pada penyelaan dalam hal waktu. Bunyi yang terjadi hampir bersamaan cenderung untuk terdengar sebagai satuan. Kode Morse Internasional memanfaatkan prinsip ini dengan menggunakan jeda-jeda diam dengan panjang yang berbeda-beda untuk memisahkan huruf dan kat-kata, sehingga kelompok-kelompok bunyi ini menjadi satuan-satuan tersendiri. Ketika diterapkan pada pembelajaran, hukum kerapatan dapat mengacu lagi pada kerapatan dalam hal ruang atau waktu. Dalam hal ruang, hukum tersebut bisa menjelaskan mengapa kera lebih mudah menemukan cara meraih pisang dengan sebatang tongkat jika tongkat dan pisangnya berada di sisi yang sama pada kandang tersebut. Dalam hal waktu, hukum itu bisa menerangkan mengapa kita lebih mudah mengingat kejadian-kejadian yang lebih terkini, yang lebih rapat dengan waktu sekarang sehingga mudah disatukan dengan urusan kita yang sekarang dalam gestalt yang sama.
4.      Hukum Kontinyuasi (Law of Continuation)
Obyek dilihat sebagai totalitas atau keseluruhan bukan bagian per bagian. Implikasi dari hukum ini adalah cara pandang bahwa:
a.    Dalam belajar, siswa tidak menangkap bagian-bagian dari gejala tetapi menangkapnya secara keseluruhan karena keseluruhan lebih penting dari pada bagian-bagiannya. Sebagai contoh, ketika seseorang melihat sebuah rumah, ia melihatnya secara keseluruhan bukan bagian-bagiannya.
b.    Anak yang belajar merupakan keseluruhan dalam arti bahwa pembelajaran yang dilakukan terhadap anak bukan hanya mengembangkan intelektualnya saja, tetapi mengembangkan keseluruhan kepribadian anak seutuhnya (whole child education).
5.      Hukum ketertutupan (Law of Closure)
Menyatakan bahwa area yang menutup lebih siap membentuk satuan. Diterapkan pada persepsi, fakta ini bisa dilihat dengan mengacu pada contoh garis-garis sejajar sebelumnya. Kita bisa mengubah pengelompokan sebelumnya dan membuat pasangan garis yang terpisah lebih besar menjadi mengelompok. Perubahan ini bisa dihasilkan dengan menghubungkan ujung dari garis-garis ini sehingga membentuk dua sisi dari sebuah kotak. Garis penghubung ini tidak harus utuh; sepanjang pasangan garis yang terpisah lebar nampak sebagai bagian dari sebuah figur yang menutup ruang, pasangan itu cenderung untuk menyatu. Diterapkan pada pembelajaran, hukum penutupan memainkan peran dalam teori pembelajaran kognitif sama halnya seperti peran yang dimainkan oleh penguatan dalam teori pembelajaran koneksionis.
            Ketika seorang individu bergulat dengan sebuah masalah, persepsinya mengenai situasi tidak komplet. Suatu imbalan akan menyatukan bagian-bagian yang terpisah dari situasi itu menjadi figur perseptual yang menutup atau selesai, terdiri atas masalah, tujuan, dan saran untuk mencapai tujuan (Koffka 1925). Di sini titik tekannyya bukan pada perolehan imbalan melaikan pada perampungan suatu aktivitas dan membuat beberapa bagian menjadi berhubungan. Kerena itulah penjelasan ini paling tepat bila diterapkan pada manusia dewasa yang dengan sadar bekerja ke arah tujuan tertentu. Istilah ‘closure’ memang telah digunakan secara informal oleh banyak psikolog non-gestalt untuk mengacu pada munculnya perasaan komplet ketika sebuah tugas diselesaikan atau suatu misteri terpecahkan. Sungguhpun demikian, hubungan antara penutupan dalam pengertian ini dan penutupan dalam figur geometris bisa jadi agak dipaksakan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Koffka menemukan hukum penutupan dalam persepsi dan menerapkannya pada studi tentang pembelajaran, atau apakah ia menggunakan nama yang sama untuk menjelaskan dua prinsip yang sedikit berbeda, satu mengenai persepsi dan yang lain mengenai pembelajaran.
            Menarik untuk dicatat bahwa terlepas dari semua perbedaan antara interpretasi pembelajaran Guthrie dan interpretasi para psikolog Gestalt, ada kemiripan tertentu antara hukum pengkondisian primer Guthrie dan hukum penutupan para psikolog Gestalt. Kedua pihak sama-sama berpandangan bahwa imbalan menghasilkan efek karena mengubah situasi subyek. Bagi Guthrie, imbalan mengubah situasi sehingga respon terakhir yang dilakukan tetap terkondisi dengan stimuli situasi tersebut. Bagi para teoritisi gestalt,imbalan mengubah persepsi individu mengenai situasi tersebut sehingga stimuli, respon, dan imbalan membentuk suatu gestalt. Dalam pandangan seorang teoritisi penguatan, ciri seperti ini bisa digunakan sebagai pembenar bahwa teori Guthrie dan teori Gestalt sama-sama tergolong teori kontinguitas (yang berlawanan dengan teori penguatan).
Interpretasi gestalt mengenai lupa (forgetting), seperti interpretasinya mengenai pembelajaran, mengacu pada perubahan-perubahan perseptual. Jejak memori cenderug untuk berubah secara spontan seiring berjalannya waktu menjadi ‘gestalt yang lebih baik’. Konsep Gestalt yang lebih baik merupakan pola tatanan yang cenderung terjadi pada suatu sistem, entah sistem itu berupa gelembung sabun atau persepsi. Artinya, sebuah gelembung sabun cenderung untuk mengambil bentuk sebuah bulatan; jika dipaksa menjadi bentuk lain tanpa menjadi pecah, gelembung itu akan cenderung menjadi bulatan lagi begitu paksaan itu dihilangkan. Begitu juga, persepsi cenderung utuk mengambil bentuk tertentu sejauh dimungkinkan oleh kondisi-kondisi stimulasi. Gestalt yang baik cenderung bersifat sederhana dan teratur. Dalam gestalt fisik, seringkali dimungkinkan untuk menerangkan karakteristik gestalt yang baik dengan cara seksama menggunakan persamaan metematika (contohnya, rumus untuk sebuah bola bisa diterapkan pada gelembung sabun). Bila kita memasuki  wilayah persepsi, pengalaman terdahulu akan memainkan peran dalam menentukan seperti apa gestalt yang baik itu. Bentuk-bentuk yang familiar dan penting cenderung untuk menjadi gestalt yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak familiar dan tidak penting. Sekalipun demikian, faktor-faktor  bawaan tetap berperan besar dalam menentukan apa yang akan mebentuk gestalt perseptual yang baik. Bila kita membahas topik pembelajaran, kita akan menemukan fakta bahwa pengalaman selalu memegang peranan yang lebih penting, meskipun kriteria perseptual bawaan juga tetap berlaku.

D.      PRINSIP BELAJAR GESTALT
Karya paling signifikan tentang belajar oleh anggota aliran Gestalt adalah karya Kohler antara 1913 dan 1917 di University of Berlin Anthropoid Station di Tenerife, salah satu kepulauan Canary. Kohler (1925) meringkas temuannya dalam The Mentality of Apes. Saat di Tenerife dia juga mempelajari kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki ayam, meskipun karya ini jarang disebut.
Karena psikolog Gestalt terutama adalah teoretisi medan yang tertarik pada fenomena perseptual, tidak mengejutkan jika mereka mamandang belajar sebagai problem khusus dalam persepsi .mereka mengasumsikan bahwa ketika suatu organisme berhadapan dengan sebuah problem, akan muncul keadaan disekuilibrium kognitif dan keadaan ini akan terus berlanjut sampai problem terselesaikan. Karenanya, menurut Psikologi Gestalt, disekuilibrium kognitif mengandung unsur motivasional yang menyebabkan organisme berusaha untuk mendapatkan kembali keseimbangan dalam sistem mentalnya. Menurut hukum pragnanz, keseimbangan kognitif lebih memuaskan ketimbang ketidakseimbangan kognitif. Pada poin ini gestaltis lebih dekat dengan pendapat Guthrie dan Hull. Dapat dikatakan bahwa problem akan memunculkan stimuli  (atau menurut istilah Hull, dorongan), yang terus ada sampai problem terpecahkan, dan setelah terpecahkan stimuli itu akan berhenti (dorongan berkurang). Bukti atas pendapat ini diberikan oleh karya Bluma Zeigarnik, yang menemukan bahwa tugas yang belum selesai akan selalu diingat lebih lama dan lebih detail ketimbang tugas yang telah selesai. Dia menjelaskan fenomena ini dalam term properti motivasional dari suatu problem yang terus ada sampai problem itu dipecahkan. Tendensi untuk mengingat tugas yang belum selesai dengan lebih baik ketimbang tugas yang sudah selesai dinamakan Zeigarnik effect (efek zeigarnik).
Belajar menurut Gestalt adalah fenomena kognitif. Organisme “mulai melihat” solusi setelah memikirkan problem. Pembelajaran memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama (secara kognitif) dalam satu cara dan kemudian ke cara-cara lainnya sampai problem terpecahakan. Ketika solusi muncul, organisme mendapatkan wawasan  (Insight)  tentang solusi problem. Problem dapat eksis hanya dalam dua keadaan yaitu: terpecahkan atau tidak terpecahkan. Tidak ada keadaan solusi parsial diantara dua keadaan itu. Thorndike percaya bahwa belajar adalah bersifat kontinu, karena ia bertambah secara bertahap sedikit demi sedikit sebagai fungsi dari percobaan penguatan. Gestaltis percaya bahwa solusi itu didapatkan atau tidak sama sekali, belajar menurut mereka adalah bersifat diskontinu.
Untuk menguji gagasan tentang belajar ini Kohler menggunakan sejumlah eksperimen kreatif. Satu  percobaan adalah  problem memecahkan jalan memutar dimana hewan dapat melihat tujuannya dengan jelas tetapi tidak bisa mencapainya secara langsung. Hewan itu harus berjalan memutar dan mengambil jalur lain untuk mendapatkan objek yang diinginkannya. Dengan tipe problem ini, kohler menemukan bahwa ayam amat kesulitan dalam mendapatkan solusi, tetapi monyet dapat memecahkannya dengan relatif mudah.
Percobaan kedua yang dipakai Kohler mengharuskan organisme menggunakan alat untuk menjangkau objek yang diinginkannya. Misalnya, sebuah pisang diletakkan diluar jangkauan si monyet sehingga si monyet itu harus menggunakan tongkat untuk menggapainya atau menggunakan tongkat agar cukup panjang untuk menjangkaunya. Dalam masing-masing kasus, hewan itu punya semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem, ini adalah soal menyatukannya dengan cara yang tepat.
Gambar diatas menunjukkan bagaimana monyet bernama Chica menggunakan satu tongkat untuk menjangkau buah.
Gambar diatas menunjukkan monyet bernama Grande yang menggunakan tumpukan peti untuk menjangkau pisang.


Gambar diatas menunjukkan Grande menggunakan struktur yang lebih kompleks.
Gambar di atas menunjukkan bagaimana Chica menggunakan peti dan tongkat untuk mendapatkan buah.
Gambar di atas menunjukkan monyet bernama Sultan, monyet paling cerdas, menggunakan dua tongkat untuk menjangkau buah.
·      Periode Prasolusi
            Biasanya dibutuhkan waktu agak lebih lama sebelum solusi yang berwawasan (Insightful solution) dapat ditemukan. Penjelasan psikolog Gestalt dalam hal ini mirip dengan konsep belajar trial-and-error, namun mereka menyebut belajar trial-and-error ini sebagai kognitif, bukan behavioral. Menurut mereka organisme menguji sejumlah “hipotesis” tentang acara paling efektif untuk memecahkan problem. Hewan memikirkan solusi yang berbeda sampai salah satu solusi itu bisa sukses dan kemudian dia akan bertindak secara behavioral berdasarkan solusi yang berhasil tersebut. Ketika cara yang benar berhasil ditemukan maka akan muncul wawasan atau pengetahuan mendalam. Tentu saja, agar belajar mendalam ini dapat terjadi, organisme tersebut harus dihadapkan pada semua elemen problem, jika tidak maka perilakunya tampak tidak terarah. Menurut Gestaltis, ini adalah problem dalam riset Thorndike. Thorndike menemukan bahwa belajar tampak bersifat inkremental sebab elemen-elemen penting dalam problem itu tersembunyi dari hewan. Pembaca dapat merasakan pengalaman “Aha” yang biasanya mengiringi proses belajar mendalam dengan mencoba mencari beruang yang tersembunyi di sebuah gambar.
            Biasanya seseorang akan melihat sebagian besar gambar itu sebelum bentuk yang tersembunyi itu dapat ditemukan. Problem ini menimbulkan disekuilibrium yang akan terus bertahan sampai problem terselesaikan. Dalam kasus ini menemukan gambar beruang akan memulihkan kembali keseimbangan kognitif, meredakan ketegangan dan akan membuat orang berteriak lega seperti “aha”.
·         Wawasan Dalam Pendidikan
Kontribusi Wertheimer yang paling menonjol bagi perkembangan psikologi Gestalt adalah dalam aplikasi bidang pendidikan. Ia memberikan perhatian pada pembelajaran berwawasan di kalangan anak-anak sekolah. Apabila kohler meneliti wawasan pada kera untuk tujuan teoritis, Wetheimer memiliki minat yang amat  praktis pada anak-anak sekolah.ia memandang bahwa para guru terlalu menekankan hafalan atau ingatan buta dengan mengorbankan pemahaman. Untuk itu ia mengarahkan studi-studinya guna menghasilkan cara tertentu agar pembelajaran disertai wawasan yang lebih besar di pihak siswa.
Dalam bukunya Produktif Thinking, Wertheimer (1945) membedakan dua tipe pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah tipe Aterdapat originalitas dan wawasan; dalam pemecahan tipe B yang ada adalah ketentuan-ketentuan lama yang diterapkan secra tidak tepat, dan dengan demi kian tidak menjadi pemecahan. Perbedaan ini bukan berarti bahwa pemecahan masalah B bergantung pada pengalaman sebelumnya dan pemecahan A tidak. Keduanya bergantung pada pengalaman sebelumnya; perbedaan ada pada susunan orisinal yang mncirikan pemecahan A.
            Wertheimer mendapati bahwqa geometri merupakan bidang yang amat berguna untuk mengkaji pendekatan yang berbeda terhadap masalah. Salah satu masalah yang ia berikan kepada orang dewasa dan anak-anak mengharuskan subjek untuk mencari jajaran genjang. Awalnya Wertheimer menjelaskan pada subjek cara mencari luas persegi panjang; ia tidak hanya menyatakan rumus tidak hanya menyatakan rumus panjang kali lebar, namun juga menjelaskan alasan diperolehnya rumus tersebut. Ia melakukannya dengan membagi persegi panjang itundengan menjadi bujur sangkar-bujur sangka kecil dan menunjukan bahwa luas persegi panjang adalah bujur sangkar yang ada pada satu kolom dikalikan dengan jumlah kolomnya. Ia kemudian memperlihatkan sebuah jajaran genjang yang terbuat dari kertas dan menyuruh subjek untuk mencari luasnya. Sebagian orang menjawab bahwa ini merupakan soal baru dan mereka menganggap tidak bisa menyelesaikan soal tersebut tanpa diberi tahu caranya. Sebagian langsung mengulang rumus perkalian satu sisi dikalikan sisi yang lain yang sekarang terbuktintidak berlaku; ini adalah ‘pecahan tipe B’. Yang lainnya berusaha untuk menemukan pemecahan yang orisinal namun tetap tidak bisa menemukan. Hubungan kedua persolalan itu. Akan tetapi beberapa diantaranya sampai pada pemecahan A yang orisinal. Salah satu anak mengamati bahwa yang membuat soal itu sulit adalah dua pojok tepi jajaran genjang yang mencuat, ia meminta gunting, memotong salah satu tepi dan menyatukannya dengantepi lainnya sehingga jajaran genjang tersebut sekarang menjadi persegi panjang.Subjek yang lainnya pada hasil yang sama dengan membengkokkan jajaran genjang itu menjadi sebuah cincin sehingga kedua ujungnya menyatu, dan kemudian memotong cincin itu secara melintang sehingga menjadi sebuah persegi panjang. Kedua individu ini menunjukkan pemahaman orisinal atas situasi tersebut yang memungkinkan pemecahan yang orisinal dan benar.
            Jika individu ini menerapakan ketentuan ‘panjang kali lebar’, yang ada pada persegi panjang untuk menghitung jajaran genjang, perhitungan yang diperoleh tentu benar, namun demikian tetap menunjukkan tidak ada pemahaman. Hal ini lebih mirip dengan penyelesaian B, walaupun secara kebetulan juga benar. Namun demikian, yang mereka lakukan adalah mencari cara orisinal dengan mengubah soal baru ini menjadi soal yang familiar bagi mereka, soal yang mereka ketahui cara penyelesaiannya. Penyelesaian akhirnya amat bergantung pada pengalaman sebelumnya itu diorganisir dengan cara baru. Hal penting dalam penyelesaian tersebut adalah adanya wawasan yang dengannya situasi soal baru itu diretrukturisasi. Dari sudut pandang para pemecah itu, jajaran genjang dirubah menjadi Gestalt yang lebih baik, menjadi persegi panjang.
            Ketika suatu penyelesaian terbukti benar, penting dibedakan apakah disana terkandung pemahaman yang nyata atau tidak. Pemahaman tidak sama dengan logika. Baik metode-metode logika induktif dan deduktif bisa diterapkan secara membuta. Metode induktif, dimana seseorang menalar contoh-contoh partikular menuju kesimpulan umum, sebenarnya hanya merupakan upaya yang coba-coba. Seseorang lainnya mungkin mencoba berbagai rumus untuk menemukan luas jajaran genjang, ia mendapati bahwa panjang kali lebar menghasilkan jawaban sama seperti yang ada di buku untuk sejumlah kasus, dan menyimpulkan bahwa rumus inilah yang benar namun tanpa mengetahui sebabnya. Meskipun memadahi untuk tujua-tujuan praktis, cara ini adalah penyelesaina tanpa pemahaman. Wertheimer gemar memberikan contoh kasus dimana induksi seperti itu mengarah pada kesimpulan yang ternyata keliru. Metode deduktif, dimana seseorang menalar secara logis dari satu prinsip ke hal lainnya, juga bisa diterapkan secara membuta. Seorang siswa biasanya menggunakan aljabar dengan teliti sampai ia bisa membuktikan benarnay suatu persamaan, namun mungkin ia tetap tidak memahami persamaan itu dalam pengertia seperti yang dimaksudkan oleh Wertheimer. Pemahaman bukan hanya melibatkan kebenaran logika melainkan juga persepsi mengenai persoalan sebagai keseluruhan yang utuh, mengenai cara menggunakan sarana untuk mengarah ketujuan. Dalam proses pembuktian aljabar misalnya, disetiap langkah nya siswa perlu bertanya bukan hanya,’bagaimana secara logis ini diperoleh dari langkah sebelumnya?’ melainkan juga Bagaimana ini mengarah pada pemecahan?’ dalam pendapat Wertheimer, seharusnya pendidikan menjadikan pemahaman atau persepsi mengenai gestalt-gestalt utuh seperti itu sebagai tujuan pokoknya.
Penyelesaian soal secara kreatif bukan hanya penting untuk situasi-situasi ‘inteltual murni’ seperti tersebut di atas. Wertheimer mengilustrasikan pentingnya hal itu dalam situasi-situasi sosial melalui sebuah anekdot mengenai dua orang anak yang tengah bermain badminton. Anak yang lebih besar bermain lebih baik  dibanding anak yang lebih kecil dan selalu menang. Sehingga anak kecil pun menolak melanjutkan permainan. Karena suasana gembira menjadi buyar, bagi anak yang lebih besar hal ini menjadi sebuah persoalan. Bagaimana caranya agar ia bisa mengajak anak kecil itu untuk terus bermain badminton? Bisa saja menyuruh agar anak kecil itu bersikap sportif (kemungkinan tidak berhasil) atau bisa saja ia bermain dengan cara mengalah (pendekatan ini lebih baik namun tidak menjadi jawaban bagi persoalan awalnya). Kemudian anak yang besar menyadari bahwa akar persoalannya adalah pada kompetisi, karena itu ia menawarkan penyelesaian yang konstruktif. Permainan kompetitif berupa pertandingan meraih angka sekarang diganti menjadi permainan kooperatif dimana mereka berusaha bekerja sama menjaga bolanya agar tetap melayang sehingga keduanya bisa menikmati permainan itu lagi. Sekali lagi, terhadap situasi akan menuntun pada pemecahan yang berwawasan.
Bila dibandingkan dengan karya Guthrie Psychology of Learning, buku Wertheimer menunjukkan perbedaan antara perspektif kognitif dan koneksionis mengenai pembelajaran dalam bentuk-bentuknya yang ekstrim. Kedua buku tersebut memperlihatkan perhatian yang kuat pada psikologi pembelajaran terapan, khususnya dikalangan anak-anak. Guthrie menekankan bagaimana mendidik anak agar melakukan respon yang tepat terhadap stimuli yang tepat. Pertanyaannya selalu berupa ‘apa yang dilakukan oleh anak?’ sebaliknaya, Wertheimer menekankan bagaimana mendidik anak agar memiliki wawasan mengenai materi yang ada. Pertanyaannya adalah ‘apa yang dipahami oleh anak?’ ini bukan berarti bahwa perbedaan keduanya tidak bisa  dipertemukan karena Wertheimer pun membahas kemampuan pemecahan masalah secara efektif dan Guthrie pun berbicara tentang pemahaman menurut stimuli yang dihasilakan oleh gerakan. Tetapi penekanan diantara keduanya amat berbeda. Penekanan terhadap pemahaman, persepsi mengenai hubungan yang ada dalam keseluruhan yang terorganisir, adalah sumbangan besar psikolog Gestalt bagi interpensi pembelajaran.
            Insightful learning (belajar berwawasan) biasanya dianggap memiliki empat karakteristi: (1) transisi dari prasolusi ke solusi terjadi secara mendadak dan komplet; (2) kinerja berdasarkan solusi diperoleh dengan pengertian mendalam yang biasanya bebas dari kekelirua; (3) solusi untuk suatu problem yang diperoleh melalui wawasan mendalam ini akan diingat dalam waktu yang cukup lama; (4) prinsip yang diperoleh melalui wawasan yang mendalam ini mudah diaplikasikan ke problem lainnya. Kita melihat contoh dari karakteristik terakhir ini dalam diskusi kita tentang transposisi.
·         Transposisi
Ketika satu prinsip pemecahan masalah dalam satu situasi diaplikasikan ke problem lain, proses ini dinamakan Transposition (transposisi). Karya awal Kohler mengenai transposisi dilakukan dengan ayam dan monyet. Eksperimennya adalah dengan melatih hewan untuk mendekati satu dari dua sisi kertas abu-abu; misalnya ayam diberi makan di bagian bayangan yang gelap dari kertas itu tetapi tidak diberi makan di bagian yang lebih terang. Setelah training, ketika ayam itu diberi pilihan, ayam tersebut akan memilih mendekati bagian yang gelap. Jika eksperimen dua daerah bayangan tersebut diakhiri pada point ini, behavioris akan senang sebab demikianlah seharusnya hewan akan berperilaku menurut sudut pandang mereka, tetapi bagian kedua dari eksperimen inilah yang dianggap gestaltis lebih mencerahkan.
Setelah training awal, hewan itu diberi pilihan antara kertas gelap seperti yang dipakai saat latihan, dan kertas yang lebih gelap lagi. Bagaimana hewan tersebut merespon situasi baru ini?
            Jawabannya tergantung pada bagaimana orang melihat proses belajar. Gestaltian berpendapat bahwa behavioris akan memprediksi bahwa hewan itu akan mendekati kertas yang lebih terang disituasi baru ini karena kertas itulah yang sudah diperkuat pada fase pertama percobaan. Tetapi Gestaltis tidak memandang belajar sebagai pengembangan kebiasaan spesifik atau koneksi S-R. Menurut mereka apa yang dipelajari dalam situasi ini adalah prinsip relasional; yakni mereka menganggap hewan mempelajari prinsip mendekati objek paling gelap dari dua buah objek dalam fase pertama eksperimen dan prinsip yang sama akan diaplikasikan pada fase percobaan kedua. Gestaltis memprediksi bahwa hewan itu akan memilih objek yang lebih gelap dari kedua objek di fase 2, meskipun mereka telah dikuatkan untuk memilih objek yang satunya lagi pada fase 1. Secara umum prediksi yang dibuat psikolog Gestalt dalam situasi ini adalah akurat.
           
Dari percobaan yang telah dilakukan Kohler tersebut, kera mampu mengembangkan insight, artinya ia dapat menangkap hubungan antara kotak, tongkat dan pisang. Ia paham bahwa pisang adalah makanan, ia paham juga bahwa tongkat dapat digunakan untuk meraih pisang yang berada di gantung diatas kandang. Inilah hakikat belajar. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungn antara komponen yang ada di lingkungannya.
            Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori Gestalt, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Kemampuan insight seseorang tergantung kemampuan dasar orang tersebut; sedangkan kemampuan dasar itu tergantung kepada usia atau posisi yang bersangkutan dalam kelompok (spesies)-nya.
b)      Insight dipengaruhi atau tergantungkepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
c)      Insight tergantung pada pengaturan dan penyediaan lingkungannya. Simpanse tidak mungkin dpat meraih pisang yang ada di luar jerujinya apabila tidak disediakan tongkat.
d)     Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahkan persoalan. Pengertian itulah yang dapat menjadi kendaraan dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
e)      Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Di sini terdapat semacam transfer belajar, akan tetapi yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari namun relasi-relasi dn generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Secara garis besar prinsip belajar menurut teori gestalt adalah sebagai berikut:
1.      Belajar berdasarkan keseluruhan
Berbeda dengan teori-teori belajar behavioristik yang menganggap bagian-bagian lebih penting dari keseluruhan, teori Gestalt menganggap bahwa justru keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Demikian juga kalimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian karangan.
Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dai suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.
Orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Mata pelajaran yang bulat lebih mudah dimengerti dari pada bagian-bagiannya.
2.      Belajar adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak baru dapat mempelajarai dan merencanakan bila ia teleh matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediaan mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan karena lingkungan dan pengalaman.
3.      Siswa sebagai organisme keseluruhan
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektualnya saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri anak. oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak degan fakta-fakta yang lepas-lepas. Akan tetapi, mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.
Siswa belajar tak hanya inteleknya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran modernguru di samping mengajar, juga mendidik untuk membentuk pribadi siswa.
4.      Terjadi transfer
Belajar pada pokoknya yang terpenting pada penyesuaian petama ialah memperoleh respon yang tepat. Mudah atau sukarnya problem itu terutama adalah masalah pengamata, bila dalam suatu kemampuan telah dikuasai betul-betul maka dapat dipindahkan untuk kemampuan yang lain.
5.      Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menerus disempurnakan. Apabila seorang anak kena api, aka kejadian itu akan memberikan pengalaman setelah ia mengolah, menghubungkan dan menafsirkannya, bahwa api merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menyimpulkan dan menentukan sikap bahwa api harus dihindari. Akan tetapi, kemudian anak akan mereorganisasi pengalamannya, bahwa api itu juga ternyata besar juga manfaatnya dan tidak selalu berbahaya. Inilah hakikat pengalaman. Dengan demikian, proses membelajarkan adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
6.      Belajar harus dengan insight
Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, maka belajr itu kan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap problema.
Insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana seseorang melihat pengertian tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.

7.      Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginana dan tujuan siswa
Hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Disekolah progresif, siswa diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya.
8.      Belajar berlangsung terus menerus
Siswa memperoleh pengetahuan tak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah, dalam pergaulan, memperoleh pengalaman sendiri-sendiri, karena itu sekolah harus bekerjasama dengan orang tua di rumah dan masyarakat, agar semua turut serta membantu perkembangan siswa secara harmonis.

E.     JEJAK MEMORI
Koffka mengasumsikan bahwa pengalaman saat ini akan membangkitkan apa yang disebutnya sebagai memory procces ( proses memori ). Proses ini adalah aktifitas di otak yang disebabkan oleh pengalaman lingkungan. Ketika prosesnya berhenti, jejak dari efeknya tertinggal di otak. Jejak ini pada gilirannya akan mempengaruhi semua proses serupa yang terjadi di masa depan. Menurut kofka, jika seorang mendefinisikan belajar sebagai modifikasi potensi perilaku yang berasal dari pengalaman, maka setiap pemunculan proses ini dapat dilihat sebagai pengalaman belajar.
             Koffka (1963 [1935]), Suatu jejak akan mempengaruhi proses dengan cara menjadikan proses itu sama dengan proses yang diproduksi oleh jejak tersebut. Semakin kuat jejak memori, semakin kuat pengaruhnya pada proses itu. Karena itu, pengalaman sadar seseorang akan cenderung lebih sesuai dengan jejak memori ketimbang proses.
            Menurut pendapat ini, jika hal terakhir yang dilakukan dalam situasi pemecahan masalah adalah memecahkan masalah itu, maka solusi itu akan melekat dalam pikiran seseorang. Saat seseorang di waktu yang  lain berada dalam situasi pemecahan masalah yang sama, akan muncul sebuah proses yang akan berkomunikasi dengan jejak dari pengalaman pemecahan masalah sebelumnya. Jejak ini kemudian akan mempengaruhi proses yang sedang berlangsung dan memudahkan upaya pemecahan masalah. Dengan repitisi, jejak ini menjadi semakin berpengaruh terhadap proses tersebut.
            Pada poin ini, kita melihat kesesuaian teori gestalt dengan guthire, misalnya, tampak bahwa kofka menerima prinsip kebaruan (recency), yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan terakhir kali oleh seseorang dalam satu situasi nanti akan dilakukan lagi jika situasi itu berulang. Gestaltis pada dasarnya sepakat dengan penjelasan guthire tentang bagaimana repitisi meningkatkan keahlian.
·         Jejak Individual versus Sistem Jarak
Setiap keterampilan atau keahlian yang kompleksdapat dilihat dari banyak proses dan jejak, namun indvidual memory trace (jejak memori individual) terkait dengan ketrampilan yang sama. Berbagai jejak-jejak individual yang saling terkait dinamakan trace system (sistem jejak). Koffka (1963 [1935])mengasumsikan bahwa melalui repitisi sistem jejak menjadi lebih penting ketimbang jejak individual yang menyusunnya. Kualitas “keseluruhan” dari ketrampilan akan mendominasi jejak individual, dan karenanya menyebabkannya kehilangan individualitasnya. Fenomena ini mungkin kelihatan paradoks yakni repitisi dapat membantu belajar meskipun ia cenderung menghancurkan jejak pengalaman individual:
Konsolidasi jejak individual tunggal hilang tetapi tidak kita perhatikan karena pelenyapannya diiringi dengan menguatnya stabilitas sistem jejak. Ketika kita belajar mengetik, pekajaran individual akan segera terlupakan, dan gerakan yang kikuk akan hilang. Ini berarti jejak dari pelajaran pertama menjadi berubah oleh adanya agregat jejak yang diproduksi olh banyak repitisi yang akan meningkatkan keterampilan. Demikian pula, ketika kita berada di suatu runagan dalam waktu yang cukup lama, kita akan mendapat banyak kesan ruangan itu dengan mengelilingi ruangan. Tetapi, hanya sedikit dari kesan itu yang dapat diingat.

            Sebagaimana jejak individual amat mempengaruhi proses di masa depan saat jejak itu menetap, demikian pula sistem jejak akan memengaruhi proses terkait jika ia menjadi menetap. Pendapat ini menimbulkan implikasi yang menarik. Misalnya, diasumsikan bahwa selama bertahun-tahun kita mengembangkan sistem jejak yang berhubungan dengan pengalaman yang sama. Jadi, kita mengembangkan sistem jejak berkaitan dengan kursi, anjing, pohon, pria, wanita, atau pensil. Sistem-sistem jejak ini akan berupa semacam penjumlahan neurologis dari semua pngalaman kita dengan objek dalam kelas tertentu. Karena sistem jejak makin kuat, sistem itu akan berpengaruh besar terhadap setiap pengalaman individual yang kita punya. Teori ini juga menjelaskan fenomena pengakhiran/penutupan(closure).
Memori, seperti presepsi, mengikuti hukum pragnanz. Memori cenderung komplet dan bermakna, bahkan ketika pengalaman awalnya tidak. Pengalaman yang tak teratur cenderung diingat sebagai reguler. Sekali lagi penekanannya adalah pada pola, gestalt, keseluruhan dari pengalaman, dan pengingatan kembali pengalaman. Teori ini berbeda dengan teori memori asosiasi yang diterima oleh behavioris. Asosiasionis menerima “hipotesis bundel”, yang meyataka bahwa pemikiran yang kompleks terdiri dari ide-ide sederhana yang disatukan (dibundel) melalui kontiguitas, kemiripan atau kontras. Memori muncul ketika satu elemen dalam bundel itu menimbulkan ingatan tentang elemen lain. Gestaltis menolak teori asosiasionis dan lebih mendukung hukum pragnanz dalam menjelaskan semua aspek dari pengalaman manusia, termasuk persepsi, belajar, dan memori.
Behaviorisme tidak bicara apapun tentang persepsi, dan teori gestalt awalnya tidak bicara apa pun, atau hanya sedikiti bicara tentang belajar. Tetapi, ketika banyak tokoh gestaltis pindah ke amerika utara untuk menghindari nazi jerman, mereka mulai membahas problem belajar sebab problem itu menjadi perhatian utama bagi psikolog Amerika saat itu. Teori gestalt jelas lebih mampu untuk menjelaskan problem presepsi sebagian karena behavioris mengabaikan topik yang berusaha mngembangkan teori perseptual mereka untuk membahas soal belajar, dan disisi lain ada kelompok behavioris yang mengabaikan belajar persepsi. Seperti biasa, dengan menerima paradigma sebagai ideologi telah membutakan gestaltis dan behavioris terhadap aspek penting dari proses belajar. Untungnya, beberapa pemikir yang belakang telah berusaha menggunakan unsur terbaik dari kedua paradigma itu.
Debat sehat antara psikolog gestalt dan behavioris memunculkan modifikasi dari masing-masing sudut pandang guna menanggapi kritik dari satu sama lain. Kedua posisi ini cukup ekstrem, dan keduanya berpengaruh besar terhadap pikologi. Berkat para psikolog gestalt studi proses kognitif tak lagi dianggap tabu. Akan tetapi, proses kognitif belakangan dipelajari dalam kondisi laboratorium yang ketat dengan mengambil tema seperti studi pengambilan resiko, pemecahan masalah dan studi pembentukan konsep. Berkat behavioris kita punya definisi operasionel konsep itu yang didasarkan pada aspek behavioral.

F.     PENDAPAT PSIKOLOGI GESTALT MENGENAI PENDIDIKAN
            Seperti yang telah kita ketahui, gestaltis berpendapat bahwa problem yang tak sesuai akan menimbulkan ambiguitas atau ketidakseimbangan organisasional dalam pikiran siswa, dan ini adalah kondisi yang tidak diinginkan. Ambiguitas dilihat sebagai keadaan negatif yang akan terus ada sampai problem terselesaikan. Siswa yang berhadapan dengan problem akan berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama sampai mereka mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Dalam satu pngertian, pengurangan ambiguitas dapat dilihat sebagai teori gestalt yang sejajar dengan gagasan penguatan dari kaum behavioris. Akan tetapi, reduksi ambiguitas dapat dianggap sebagai penguat intrinsik, sedangkan behavioris biasanya lebih mnekankan pada penguat eksternal atau ekstrinsik.
            Jerome Brunner (1966), saat mendiskusikan motif manusia, memiliki pendapat yang mirip dengan gestaltis tentang reduksi ambiguitas. Bruner mengatakan,
Rasa ingin tahu hampir merupakan prototipe dari motif intrinsik. Perhatian kita terarah pada sesuatu yang tidak jelas, belum tuntas, atau tidak pasti. Kita mempertahankan perhatian kita sampai persoalan menjadi jelas, selesai, atau pasti. Pencapaian kejelasan itulah yang akan memuaskan kita. Kitaakan berpikir bahwa akan lebih baik jika seseorang akan memberi kita memberi pujian, atau jika mendapat keuntungan karena telah berhasil memuaskan rasa ingin thau kita.
           
John Holt (1967) memberikan pernyataan senada dalam bukunya, how childern learn:
            Kita ingin mengetahui sesuatu karena suatu alasan. Alasannya adalah ada lubang, clah , ruang kosong dalam pemahaman kita tentang sesuatu, model mental kita tentang dunia. Kita merasakan celah itu seperti lubang di gigidan ingin menambalnya. Ini menyebabkan kita bertanya bagaimana? Kapan ? mengapa? Saat celah itu masih ada, kita berada dalam ketegangan.dengarkan suara cemas seseorang saat ia berkata, “ini tidak masuk akal!” ketika celah dalam pemahaman kita telah terisi, kita merasa senang, puas, lega. Segala sesuatu menjadi masuk akal lagi atau setidaknya menjadi lebih masuk akal ketimbang sebelumnya. Ketika kita belajar dengan cara ini, karena alasan ini, kita berarti belajar secara cepat dan permanen. Orang yang benar-benar ingin tahu sesuatu tidak mesti harus dikasih tahu berkali-kali, diuji atau dikuliahi. Sekali sudah cukup. Pengetahuan baru itu akan mengisi celah yang sesuai dengannhya, seperti memasang kepingan-kepingan dalam permainan jigsaw.setelah ada disana, pengetahuan akan dipertahankan, ia tidak bisa lepas lagi.
            Bruner dan Holt menganut gagasan gestaltian bahwa belajar adalah memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan dicirikan oleh hubungan memberi dan menerima antara murid dengan guru. Guru kan membantu siswa memandang hubungan dan mengorganisasikan pengalaman mereka ke dalam pola yang bermakna. Belajar berdasarkan pendapat gestalt bisa dimulai dengan sesuatu yang familiar dan setiap langkah dalam pendidikan didasarkan pada hal-hal yang sudah dikuasai. Semua aspek pelajaran dibagi menjadi unit-unit yang bermakna, dan unit-unit itu harus berkaitan dengan seluruh konsep atau pengalaman. Guru yang berorientasi gestalt mungkin menggunakan teknik ceramah (lecture), tetapi ia akan berusaha agar selalu ada interksi antar guru dan murid. Memoriasi fakta tanpa pemahaman akan dihindari. Setalah siswa memahami prinsip di balik pengalaman belajar barulah mereka bisa memahaminya dengan sesungguhnya. Ketika hal-hal yang dipelajari telah dipahami, bukan hanya diingat, maka ia dapat dengan mudah diaplikasikan ke situasi yang baru dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA

Hergenhahn, B.R., dkk.2009.Theories of Learning (Teori Belajar).Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Hill, Winfred.F .2012.Theories of Learning.Bandung: Nusa Media

Slameto. 1995.Belajar Dan Faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta: PT Rineka Cipta

Gintings, Abdorrakhman.2008.Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.


Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group