Pages

Labels

Kamis, 02 Juni 2016

Makalah ABK


MERANCANG SEBUAH SEKOLAH DASAR
PENDIDIKAN INKLUSI




MAKALAH




Oleh:
SELATIKA PIDIANA
NIM. 130210204011



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PGSD
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS JEMBER

2014

BAB I
 PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya dalam pendidikan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak normal lainnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal lainya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini.



1.2 Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendidikan inklusi?
2.      Bagaimana model pendidikan inklusi di Indonesia?
3.      Bagaimana pengembangan kurikulum pendidikan inklusi?



1.3 Tujuan
1.      Agar kita mengetahui apakah yang dimaksud dengan pendidikan inklusi.
2.      Agar kita mengetahui macam-macam model pendidikan inklusi di Indonesia.
3.      Agar kita mengetahui pengembangan kurikulum pendidikan inklusi.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Inklusi
Pendidikan Inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Alimin (2005) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif juga dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dalam merespon spekturm kebutuhan belajar peserta didik yang lebih luas, dengan maksud agar baik guru maupun siswa, keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah. Pendidikan inklusif juga akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.
Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, namun tetap diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inklusif sebagai versi lain dari pendidikan khusus.
Selanjutnya menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inkkebutuhan lusi merupakan solusi pemberian pelayanan pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak.


2.2 Landasan Filosofis Pendidikan Inklusi                                                    
                  1. Pernyataan Salamanca (1994) yang menyatakan bahwa:
a.       Setiap anak memperoleh hak mendasar untuk memperoleh pendidikan, dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar.
b.      Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda.
c.       Sistem pendidikan dirancang dan progam pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan tersebut.
d.      Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi mereka yang berpusat pada diri anak   yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
e.       Sekolah reguler dengan orientasi inklusif tersebut merupakan alat paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan bagi semua.
2. Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994) mengakui prinsip bahwa sekolah inklusif mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi-kondisi lainya. Pendidikan inklusif mencakup anak cacat dan anak berbakat dari kelompok masyarakat minoritas secara linguistik, etnik ataupun budaya.


2.3 Model Pendidikan Inklusi di Indonesia   
Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan baik.
Melihat kodisi dan system pendidikan di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming (Ahman,1994). Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja
Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut :
a.       Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b.      Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus
c.       Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus
d.      Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus
e.       Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
f.       Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).


2.4 Pengembangan Pembelajaran Kurikulum dalam Pendidikan Inklusi
Kurikulum adalah program dan pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang di harapkan yang diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan yang tersusun secara sistematis, di berikan kepasa siswa di bawah tanggung jawab sekolah untuk membantu pertumbuhan atau perkembangan pribadi dan kompetensi social anak didik.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan menajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang telah dijabarkan dalam silabus. RPP ini dapat digunakan oleh setiap pengajar sebagai pedoman umum untuk melaksanakan pembelajaran kepada peserta didiknya, karena di dalamnya berisi petunjuk secara rinci, pertemuan demi pertemuan, mengenai tujuan, ruang lingkup materi yang harus diajarkan, kegiatan belajar mengajar, media, dan evaluasi yang harus digunakan.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
1.      Duplikasi Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya
2.      Modifikasi Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented. Dengan kurikulum modifikasi ini diharapkan ABK dapat mengikuti pembelajaran pada kelas umum secara klasikal bersama anak-anak umum lainnya.
3.      Substitusi Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.

4.      Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata. Standar kompetensi dalam kurikulum ini dirumuskan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan oleh guru pendidikan khusus bersama tim ahli terkait.




























BAB III
 PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pendidikan inklusif adalah sebuah pendekatan yang berusaha yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dll. Dengan kata lain pendidikan Inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang di didik bersama-sama anak normal lainya untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut :
a.       Bentuk kelas reguler penuh
b.      Bentuk kelas reguler dengan cluster
c.       Bentuk kelas reguler dengan pull out
d.      Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
e.       Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
f.       Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulumnya harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Dengan adanya berbagai macam model kurikulum ini, seperti duplikasi kurikulum, modifikasi kurikulum, substitusu kurikulum, dan omisi kurikulum,  maka diharapkan sekolah dapat menerapkan dengan tepat dan benar. Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
1.         Duplikasi Kurikulum
2.         Modifikasi Kurikulum
3.         Substitusi Kurikulum
4.         Omisi Kurikulum






3.2  Saran
Dengan mempelajari Rancangan sekolah dasar pendidikan inklusi ini diharapkan kita sebagai calon guru dapat mengetahui Rancang sekolah dasar pendidikan inklusi yang ter up-date. Kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu banyak perbaikan. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan.




























0 komentar:

Posting Komentar